Fettuccini Tengah Malam

By Astri Soeparyono, Sabtu, 22 Juni 2013 | 16:00 WIB
Fettuccini Tengah Malam (Astri Soeparyono)

?  ?  ?  ?  ?

Entah bagaimana caranya, aku tahu ia akan datang lagi. Hanya sebuah firasat tipis, tapi akhirnya jadi kenyataan yang sungguh tak bisa dipercaya ketika aku dan beberapa pelayan lain sibuk mengelap meja. Dan seperti kemarin, tepat pukul dua belas malam, pintu lebar itu terbuka lagi, dihantam keras ke dinding, dan cowok itu kembali masuk sambil berteriak kasar, "Satu porsi Fettuccini. Beef, enggak pake lama. Kasih sekarang ke gue atau gue tutup restoran ini besok." Namun kali ini, ia datang sendirian, tanpa kacamata hitamnya, dan berpakaian seperti sehabis pulang dari pesta. Sambil berjalan, ia melepaskan blazer dan dasi hitamnya, meletakkannya di atas meja sembarangan.

Aku harus mencari cara agar cowok kaya itu tidak menutup tempat ini. Tapi, bagaimana caranya? Aku ingin mendekat, tapi jantungku serasa berdebar. Aku takut. Aku sungguh takut. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau cowok itu mendadak benci padaku dan langsung menutup tempat ini? Ini pikiran gila, tapi ini semua mungkin saja terjadi.

"Deh, orangnya ganteng, lho," goda Mbok Ijah yang sedang mencuci piring, mengintip dari lubang persegi panjang di dinding.

Aku menoleh pada cowok itu. Benarkah perkataan Mbok Ijah?

Baru setelah aku menatapnya, aku kembali berpaling.

Karena dia juga sedang menatapku. Dalam arti benar-benar menatapku. Tiba-tiba saja aku merasa tidak nyaman.

"Om Muntoro." Aku menghampiri sang manajer. "Aku...pulang dulu ya."

Dan mau tahu yang terjadi selanjutnya? Hal ini terjadi berkali-kali. Aku akan bekerja sampai larut malam, dan tepat pukul dua belas malam cowok yang tak kuketahui namanya itu akan datang sambil menghantam pintu, dan dengan kasar meneriakkan kata-kata yang sama seperti hari sebelumnya. Setelah itu ia akan menatapku lama sekali sampai aku menoleh padanya karena penasaran, kemudian aku akan langsung pulang dengan bodohnya sambil bersikap seperti orang tidak bersalah.

Semuanya terjadi berulang-ulang, terus-menerus, sampai hari ini. Perbedaannya, hari ini aku telah membulatkan tekadku, membetulkan niatku. Aku akan datang padanya, dan bicara dengannya hari ini, karena semalam Pak Muntoro pun sudah mengatakan padaku serta staf-staf lain bahwa hanya masalah waktu sebelum tempat ini diambil sepenuhnya oleh cowok itu. Oleh karena itu, aku menghabiskan seharian membantu di dapur bersama Mbok Ijah sambil berusaha mengontrol si kembar yang liar sekali. Yap, ini hari Minggu.

Dan tepat pada pukul dua belas malam, ia melangkahkan kakinya lagi dengan kasar dan penuh harga diri di restoran pasta ini, meneriakkan kata-kata yang sama seperti biasanya, memesan seporsi Beef Fettuccini, dan beranjak duduk, kemudian menatapku.

Aku menelan ludah. Ini saatnya. Ini saatnya. Aku pun berjalan takut-takut menuju dirinya, menuju pemuda tinggi yang hari ini muncul dengan jaket mahal serta Rolex-nya lagi yang sedang menunggu.