"Kamu tahu, kenapa sayap kupu-kupu bisa berwarna?" tanyanya. Aku mengangguk. Aku sudah membacanya. Tapi ia terus bicara, seolah aku belum baca apa-apa.
"Warna merah dan hitam berasal dari pigmen sisik kupu-kupu. Kamu sudah baca bagian itu belum?" Ia melanjutkan, "Tapi untuk warna hijau dan kuning, pigmen itu tidak ada. Warnnya cuma terbentuk dari susunan kontur sisik kupu-kupu. Cahaya juga punya peranan penting saat mengenai kontur sisik-sisiknya." Bagian ini aku belum baca. Aku tersenyum padanya. Hei, tersenyum? Sejak kapan aku bisa senyum pada orang lain?
"Oh iya, kenapa kamu bisa suka dengan kupu-kupu?" Aku mengangkat bahu.
"Jangan-jangan kamu suka karena kupu-kupu itu makan madu?" selidiknya. Aku menggeleng cepat. Aku tahu, kupu-kupu tak cuma makan madu. Ada sebagian kupu-kupu yang hinggap di bangkai atau pun kotoran hewan. Mereka membutuhkan kandungan natrium yang bisa diperoleh dari madu pada bunga atau juga pada sumber lainnya, jika memang bunga tidak ada.
"Lalu?" ia bertanya lagi.
Kuambil kertas dan pensil dari dalam tas. Kutuliskan sesuatu. Ia membacanya, "Karena aku cantik seperti kupu-kupu?" Ia mengernyitkan alisnya. Ha-ha-ha, kami tertawa.
Ada satu alasan yang tak ingin kuberi tahu padanya.
Karena, aku merasa sama seperti kupu-kupu. Sama-sama tak bisa bicara. Aku sedih? Tidak juga. Kubuka lagi buku tebal itu. Kami melihat sayap indah kupu-kupu. Ada rasa bahagia yang meruak, sulit untuk kuungkapkan.
Aku tak peduli lagi, apakah aku bisa bicara atau tidak. Apakah orang lain tahu tentang hal itu. Hidup ini begitu indah. Tak cuma ada kekurangan. Pasti ada kelebihan.
Aku adalah Diajeng. Aku berpindah-pindah sekolah agar tidak dijauhi saat ketahuan tak bisa bicara. Aku memang seorang gagu. Aku masih bisa mendengar. Aku suka menggambar. Aku suka kupu-kupu. Aku ingin lebih mengenal dunia. Ingin dunia mengenalku, sama seperti mereka mengenal sayap kupu-kupu.
(oleh: rizki d utami, foto: weheartit.com)