Saban Matahari Bakal Purna

By Astri Soeparyono, Sabtu, 27 April 2013 | 16:00 WIB
Saban Matahari Bakal Purna (Astri Soeparyono)

            Mak Ujah hanya menjawab dengan gelengan lemah sambil tersenyum. Memang kasih ibu sepanjang jalan. Aku jadi teringat akan ibuku yang pergi meninggalkan aku dan adik laki-lakiku untuk menempuh hidup baru dengan orang lain tanpa memedulikan kami. Sampai sekarang pun ibu tak pernah mengunjungi kami untuk sekedar melihat anak-anaknya tumbuh besar. Apakah Ibuku itu masih bisa disebut ibu?

            "Lho, Nduk? Kok malah melamun? Sini...duduk di samping Emak,"k ata Mak Ujah sambil menepuk-nepuk bangku rotan panjang yang beliau duduki.

            Kuturuti kemauannya. Dengan beberapa candaan dan humor yang dibubuhi Mak Ujah pada cerita-cerita masa lalunya, sejenak dapat melupakan kesedihanku akan ibu.

            ***

            Terdengar adzan Dzuhur berkumandang dari mushola terdekat. Tak terasa sudah setengah hari aku menemani Mak Ujah. Aku berpamitan pulang karena adikku terlihat kewalahan karena tak terbiasa melayani para pembeli yang ramai.

            "Ayo, Mak. Masuk rumah dulu saja. Apa ndak capek nunggu terus?"k ataku sambil meregangkan otot karena terlalu lama duduk.

            Namun Mak Ujah berpegang teguh pada pendiriannya untuk tetap menunggu Bagus yang tak kunjung datang. Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu mengapa.

            Tak berapa lama setelah kedatanganku, pembeli yang ramai itu bisa teratasi dengan mudah. Tentu saja karena aku sudah terbiasa melayani para pencari kain itu. Saat berkutat dengan kalkulator untuk menghitung hasil penjualan, tiba-tiba terlihat Pak Munir tergopoh-gopoh menghampiriku.

            "Ada apa, Pak?" tanyaku bingung.

            "Nama lengkapnya Bagus siapa, ya?" Aku sedikit heran melihat kening Pak Munir berkeringat.

            "Bagus siapa, Pak? Bagusnya Mak Ujah?"

            "Iya."