Saban Matahari Bakal Purna

By Astri Soeparyono, Sabtu, 27 April 2013 | 16:00 WIB
Saban Matahari Bakal Purna (Astri Soeparyono)

            "Kalau tidak salah Bagus Adi Santosa, Pak."

            Wajah Pak Munir mendadak pucat.

            "Memangnya ada apa, Pak?" desakku.

            "Anu...tadi saya pas liat berita di TV, ada kabar terbaru kalau pesawat yang ditumpangi Bagus kecelakaan, dan semua penumpang ndak ada yang selamat."

            Mendengar pernyataan dari Pak Munir jantungku serasa dihantam godam. Nafasku tertahan untuk beberapa detik.

            "Apa, Pak?! Apakah berita itu benar?" tanyaku.

            "Benar, Nduk. Kecelakaannya jam 7 pagi tadi, nama Bagus ada di daftar korban yang sudah berhasil dievakuasi," wajah Pak Munir menyiratkan rasa prihatin.

            Batinku masih belum bisa menerima kabar ini. Bagus meninggal. Mengapa ini yang terjadi? Berita ini begitu buruk bagiku. Sangat buruk.

            Namun yang lebih buruk dari ini adalah: Bagaimana cara memberitahu Mak Ujah?

            ***

            Sore itu mendung menghampiri desa kami. Seakan ingin mengabarkan tentang belasungkawa ini pada Mak Ujah, karena nyatanya sampai sekarang tak ada yang berani memberitahukan tentang kematian Bagus pada beliau. Begitu juga aku. Pak Munir, ketua RT di desa kami, sama saja seperti aku. Tak satu pun di antara kami, para penghuni desa, berani menghampiri Mak Ujah.

            Sudah seminggu setelah kematian Bagus. Namun kabar itu masih tetap saja kami simpan. Tak ada yang tega melihat Mak Ujah sedih akan kabar itu, namun juga tak tega melihat Mak Ujah masih menunggu anak kebanggaannya itu. Kami semua masih tetap terbelenggu dilema.

            ***

            Sampai sekarang, saban matahari bakal purna, aku tak pernah lagi melihat wanita tua renta yang menyapu dan mencabuti rerumputan liar di halaman rumah itu. Rumah yang tak jauh dari rumahku sehingga selalu bisa terlihat dari muka toko kainku. Sapu lidi yang biasa terpakai sekarang tergeletak begitu saja di sudut rumah.

            Mak Ujah, dengan segala kesabaran dan ketegaran, tetap duduk tenang tanpa melakukan apa pun kecuali menunggu. Mak Ujah tetap menunggu kedatangan Bagus dengan baju terbaiknya tanpa sekali pun mengurangi pancaran harapan dari matanya yang sendu layaknya dua tahun lalu.

            Kapankah Bagus akan kembali untuk menjemput Mak Ujah? Hanya Tuhan yang tahu.

(oleh: ratna wahyuningrum, foto: imgfave.com)