Saban Matahari Bakal Purna

By Astri Soeparyono, Sabtu, 27 April 2013 | 16:00 WIB
Saban Matahari Bakal Purna (Astri Soeparyono)

Beliau adalah Mak Ujah, janda tua yang ditinggal mati suaminya yang bertugas dalam mempertahankan negara. Rumahnya berada tak jauh dari rumahku sehingga selalu terlihat dari muka toko kainku. Saban matahari bakal purna, Mak Ujah selalu menyapu dan membersihkan rerumputan liar di halaman rumahnya yang luas. Seolah berusaha membuat rumahnya terlihat bersih dan terawat walau sebenarnya rumah itu sudah reot.

            Tak jarang aku berniat untuk membantu Mak Ujah. Sayangnya beliau selalu menolak dan berkata bahwa tubuhnya masih kuat untuk melakukannya. Namun aku yang terlahir dengan dasar anak yang keras kepala seringkali tak menghiraukan larangan beliau untuk membantu. Kadang aku langsung mencucikan piring kotor dan menanakkan nasi di pawon.

            Bukannya aku sombong dan ingin dipuji, aku hanya merasa iba saat melihat orang serenta Mak Ujah harus melakukan pekerjaan rumah sendirian. Mencuci baju di sungai, membersihkan kandang kambing, mencari kayu bakar di hutan, dan juga membuat sapu lidi yang menjadi mata pencaharian Emak.

            Sebenarnya Mak Ujah tidak sendirian. Beliau mempunyai anak tunggal bernama Bagus Adi Santosa, nama yang bagus, bukan?

            Semenjak kepergian suami Mak Ujah, ekonomi keluarganya menjadi berantakan. Untuk mendapatkan sesuap nasi pun menjadi sangat sukar. Maka dari itulah, Bagus yang baru lulus SMA merasa bertanggung jawab dan menanamkan anggapan bahwa dirinya harus berhasil karena sekarang dirinyalah yang menjadi tulang punggung keluarga.

            Bagus pergi merantau ke kota metropolitan Jakarta untuk mengadu nasib. Dengan bermodal skill dan kepandaian lebih yang memang dikaruniai oleh Tuhan, juga doa yang selalu mengalir dari mulut Mak Ujah, lahirlah Bagus yang baru. Dari pemuda desa yang biasa saja, menjadi pengusaha perkebunan terkemuka di Jakarta. Tuhan selalu mempermudah langkahnya.

            Bagus menjadi sangat jarang mengunjungi Mak Ujah. Penyebabnya bukan karena ia telah besar kepala, tapi karena tuntutan pekerjaan yang makin hari kian sibuk. Ditambah lagi transportasi menuju desa ini juga begitu sulit, sehingga memakan waktu yang cukup banyak untuk mencapai desa ini.

            Bagus pun menyiasati dengan membeli ponsel yang mudah digunakan untuk Emak. Namun karena buruknya sinyal di desa kami, telepon dari Bagus untuk Mak Ujah pun sering tidak dapat tersambung. Keadaan ini mengingatkanku pada peribahasa 'bagai mengukir di atas air.'

            "Kadang-kadang Emak nangis, Nduk. Emak kangen Bagus," begitu curhat Mak Ujah padaku.

            ***

            Suatu hari Mak Ujah datang ke tokoku untuk membeli benang jahit yang sesuai dengan warna baju yang beliau bawa.

            "Benangnya mau dibuat apa, Mak?" tanyaku.

            "Ini, Nduk. Kancingnya copot, mau Emak jahit," jawabnya dengan senyum yang tulus.

            Dengan segera kubawa baju Mak Ujah ke dalam rumahku untuk menjahitkan kancing baju itu. Namun ternyata kali ini Mak Ujah tak melarangku untuk membantunya seperti biasa. Mak Ujah hanya membiarkanku menjahitkan kancing bajunya. Aku tersenyum, setidaknya aku merasa senang bisa menolong Mak Ujah.

            "Bajunya bagus, Mak," kataku.

            "Ini memang baju terbaik Emak, Nduk. Mau Emak pakai saat Bagus pulang."

            "Pulangnya kapan, Mak?"

            Akhirnya Mak Ujah bercerita padaku kalau seminggu lagi Bagus akan pulang ke desa ini. Rencananya Mak Ujah akan diajak Bagus untuk tinggal bersama di kota Jakarta karena tanah tempat rumah Mak Ujah sekarang berdiri bukanlah tanah milik beliau. Ditambah lagi rumah Mak Ujah sudah reot dan tak layak untuk ditempati.

            Dari cara Mak Ujah bercerita, sepertinya Bagus adalah anak yang sangat istimewa bagi beliau. Semua orang di desa ini sudah tahu akan itu. Tak ayal bila tak ada yang heran bila Mak Ujah juga sangat bersuka cita atas ajakan Bagus. Aku yang melihat kebahagiaan Mak Ujah menjadi terharu karena aku tak pernah melihat Mak Ujah sebahagia ini. Aku juga kagum dengan bakti seorang Bagus. Ia tetap menghormati orangtuanya walau ia telah berhasil. Bagus adalah kacang yang tak lupa pada kulitnya.

            ***

             Tibalah hari Mak Ujah akan menyambut Bagus dengan baju terbaiknya. Sejak pagi buta tadi, Mak Ujah sudah mengepak semua baju dan barang-barang penting lainnya di dalam tas koper. Kulihat jam dinding masih menunjukkan pukul 8 pagi, namun Mak Ujah sudah duduk tenang di depan beranda rumahnya dan sabar menunggu akan kedatangan Bagus. Kuhampiri Mak Ujah yang sedang termenung.

            "Kok sudah siap, Mak? Mas Bagus mungkin baru berangkat kalau jam segini," kataku.

            "Emak sudah ndak kuat nahan kangen, Nduk."

            "Apa ndak pa-pa Emak nunggu lama di luar?" tanyaku.

            Mak Ujah hanya menjawab dengan gelengan lemah sambil tersenyum. Memang kasih ibu sepanjang jalan. Aku jadi teringat akan ibuku yang pergi meninggalkan aku dan adik laki-lakiku untuk menempuh hidup baru dengan orang lain tanpa memedulikan kami. Sampai sekarang pun ibu tak pernah mengunjungi kami untuk sekedar melihat anak-anaknya tumbuh besar. Apakah Ibuku itu masih bisa disebut ibu?

            "Lho, Nduk? Kok malah melamun? Sini...duduk di samping Emak,"k ata Mak Ujah sambil menepuk-nepuk bangku rotan panjang yang beliau duduki.

            Kuturuti kemauannya. Dengan beberapa candaan dan humor yang dibubuhi Mak Ujah pada cerita-cerita masa lalunya, sejenak dapat melupakan kesedihanku akan ibu.

            ***

            Terdengar adzan Dzuhur berkumandang dari mushola terdekat. Tak terasa sudah setengah hari aku menemani Mak Ujah. Aku berpamitan pulang karena adikku terlihat kewalahan karena tak terbiasa melayani para pembeli yang ramai.

            "Ayo, Mak. Masuk rumah dulu saja. Apa ndak capek nunggu terus?"k ataku sambil meregangkan otot karena terlalu lama duduk.

            Namun Mak Ujah berpegang teguh pada pendiriannya untuk tetap menunggu Bagus yang tak kunjung datang. Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu mengapa.

            Tak berapa lama setelah kedatanganku, pembeli yang ramai itu bisa teratasi dengan mudah. Tentu saja karena aku sudah terbiasa melayani para pencari kain itu. Saat berkutat dengan kalkulator untuk menghitung hasil penjualan, tiba-tiba terlihat Pak Munir tergopoh-gopoh menghampiriku.

            "Ada apa, Pak?" tanyaku bingung.

            "Nama lengkapnya Bagus siapa, ya?" Aku sedikit heran melihat kening Pak Munir berkeringat.

            "Bagus siapa, Pak? Bagusnya Mak Ujah?"

            "Iya."

            "Kalau tidak salah Bagus Adi Santosa, Pak."

            Wajah Pak Munir mendadak pucat.

            "Memangnya ada apa, Pak?" desakku.

            "Anu...tadi saya pas liat berita di TV, ada kabar terbaru kalau pesawat yang ditumpangi Bagus kecelakaan, dan semua penumpang ndak ada yang selamat."

            Mendengar pernyataan dari Pak Munir jantungku serasa dihantam godam. Nafasku tertahan untuk beberapa detik.

            "Apa, Pak?! Apakah berita itu benar?" tanyaku.

            "Benar, Nduk. Kecelakaannya jam 7 pagi tadi, nama Bagus ada di daftar korban yang sudah berhasil dievakuasi," wajah Pak Munir menyiratkan rasa prihatin.

            Batinku masih belum bisa menerima kabar ini. Bagus meninggal. Mengapa ini yang terjadi? Berita ini begitu buruk bagiku. Sangat buruk.

            Namun yang lebih buruk dari ini adalah: Bagaimana cara memberitahu Mak Ujah?

            ***

            Sore itu mendung menghampiri desa kami. Seakan ingin mengabarkan tentang belasungkawa ini pada Mak Ujah, karena nyatanya sampai sekarang tak ada yang berani memberitahukan tentang kematian Bagus pada beliau. Begitu juga aku. Pak Munir, ketua RT di desa kami, sama saja seperti aku. Tak satu pun di antara kami, para penghuni desa, berani menghampiri Mak Ujah.

            Sudah seminggu setelah kematian Bagus. Namun kabar itu masih tetap saja kami simpan. Tak ada yang tega melihat Mak Ujah sedih akan kabar itu, namun juga tak tega melihat Mak Ujah masih menunggu anak kebanggaannya itu. Kami semua masih tetap terbelenggu dilema.

            ***

            Sampai sekarang, saban matahari bakal purna, aku tak pernah lagi melihat wanita tua renta yang menyapu dan mencabuti rerumputan liar di halaman rumah itu. Rumah yang tak jauh dari rumahku sehingga selalu bisa terlihat dari muka toko kainku. Sapu lidi yang biasa terpakai sekarang tergeletak begitu saja di sudut rumah.

            Mak Ujah, dengan segala kesabaran dan ketegaran, tetap duduk tenang tanpa melakukan apa pun kecuali menunggu. Mak Ujah tetap menunggu kedatangan Bagus dengan baju terbaiknya tanpa sekali pun mengurangi pancaran harapan dari matanya yang sendu layaknya dua tahun lalu.

            Kapankah Bagus akan kembali untuk menjemput Mak Ujah? Hanya Tuhan yang tahu.

(oleh: ratna wahyuningrum, foto: imgfave.com)