Sebiji Kopi Yang Terbang Ke Amerika

By Astri Soeparyono, Minggu, 16 Desember 2012 | 16:00 WIB
Sebiji Kopi Yang Terbang Ke Amerika (Astri Soeparyono)

Langkah Uli seperti ragu memasuki peralatan sebuah stasiun radio yang pekan ini dijadikan salah satu stand pendaftaran ajang pemilihan girl ambassador untuk sebuah produk multivitamin remaja. Di tangannya, tergenggam map besar yang berisi setumpuk sertifikat lengkap dengan piagam-piagam hasil kerja kerasnya mengikuti berbagai perlombaan sejak ia masih TK, hingga sekarang saat ia duduk di bangku SMA.

            Suasana yang ramai membuat mental Uli makin menciut. Ternyata yang berminat mengikuti kompetisi ini tidaklah sedikit. Segerombolan cewek dengan bodi sempurna ala Paris Hilton lewat di depan Uli sambil cekikikan. Kelihatannya mereka baru selesai mendaftar dan terlihat amat percaya diri sekali. Uli jadi minder.

            "Elo tuh cewek paling berbakat yang pernah gue kenal. Langganan juara karya tulis, gape cas cis cus Inggris, pernah juara olimpiade astronomi, dan berkal-kali jadi juara matematika. Kurang apa lagi? Kans menang lo besar, Li! Lo enggak punya alasan untuk enggak ikut event ini!" kata-kata Kenya sahabatnya kembali terngiang. Perlahan api semangat pun mulai menjalari pikirannya. Benar apa kata Kenya, sudah saatnya gue perlihatkan pada seluruh isi dunia ini, siapa gue sebenarnya! Batin Uli berusaha memantabkan dirinya sendiri.

            Uli pun melangkah memasuki gedung utama. Di pintu masuk, ia di sambut oleh seorang satpam.

            "Maaf mbak, hari ini kantor kami sedang ada acara. Kalau mbak mau ambil hadiah kuis bisa kembali besok pagi," sapa satpam itu dengan tersenyum.

            "Maaf juga Pak, saya enggak mau ambil hadiah kok. Saya mau ikut daftar pemilihan girl ambassador ini," meski sebenarnya agak dongkol, Uli berusaha tetap ramah.

            Akhirnya satpam itu membiarkan Uli masuk juga. Meski dengan wajah tidak percaya.

            "Yang dipentingkan dalam pemilihan duta seperti ini memang prestasi akademik maupun non akademik. Tapi pihak juri juga memperhatikan betul soal performance," kata-kata seorang petugas yang melayani pendaftaran terasa monohok Uli ketika ia mengisi formulir di bagian registrasi.

            Uli diam saja. Meski ia telah memperlihatkan setumpuk dokumen yang membuktikan bahwa dirinya tentu berbeda dengan remaja-remaja lainnya, ternyata kata-kata tajam seperti itu yang harus diterimanya.

            "Bukannya apa-apa, tapi saya enggak yakin kamu bisa bersaing dengan kandidat yang lain. Aprilla Devia yang tahun kemarin memenangkan Top Model juga ikut dalam ajang ini. Belum lagi Kirana Cenani yang berpredikat sebagai remaja berprestasi dan dijagokan untuk maju dalam pemilihan Miss Indonesia. Dan kamu tahu kan, siapa juri kita? Seorang pemilik modeling scool yang terkenal selektif. Kamu siap dengan kemungkinan terburuk jika kamu tetap keukeuh ikut..."

            Dan blab bla bla, Uli tak mendengar lagi ocehan petugas itu. di dalam hatinya berkecamuk berbagai pertanyaan. Apakah benar dunia ini hanya menysdiakan tempat lapang untuk orang-orang dengan fisik sempurna? Tidak adakah kesempatan untuk seseorang seperti dirinya? Apakah penampilan luar mengembangkan potensi diri?

            Uli melihat pantulan dirinya di cermin dengan nanar. Ukuran tubuh yang sangat jauh dan standar proporsional yang berlaku, wajah yang dipenuhi bercak-bercak hitam bekas jerawat, dan warna kulit yang sudah mirip kopi yang telah disangrai. Dan meski kaca mata tebal yang biasa nangkring di depan matanya itu di lepaspun tidak memberi banyak perbaikan untuk penampilannya.