Sebiji Kopi Yang Terbang Ke Amerika

By Astri Soeparyono, Minggu, 16 Desember 2012 | 16:00 WIB
Sebiji Kopi Yang Terbang Ke Amerika (Astri Soeparyono)

            Di sana ia berkenalan dengan Echa, seorang gadis manis yang giat membantu orang tuanya. Usia Echa tidak terlalu terpaut jauh dengan Uli, tapi Echa terliat lebih mandiri. subuh ia sudah berangkat ke kebun kopi untuk membantu ayahnya yang hanya salah satu buruh  yang bekerja untuk seorang tuan tanah. Menjelang tengah hari, Echa akan kembali ke rumah  untuk mengganti tugas ibunya menjaga warung rokok kecil di depan rumahnya. kata Echa, jika hanya bergantung  dari hasil ayahnya di kebun kopi, kebutuhan keluarganya tidak dapat terpenuhi. Sementara Echa bertugas menjaga warung, Ibunya akan pergi ke kebun kopi yang lain sekedar untuk menambah penghasilan. Dan bisa dibayangkan betapa parah kondisi ekonomi keluarga-keluarga di sana, karena seperti keluarga Echa, hasil keringat tiga orang dalam sehari itu akan habis hanya untuk membeli beras beserta lauk pauk ala kadarnya.

            Malamnya, Echa selalu pergi ke Masjid di ujung desa untuk mengajar baca tulis anak-anak kecil. Echa sendiri hanya tamatan Sekolah Dasar.

            "Kalu siang hari, anak-anak ini harus membantu orang tuanya di kebun kopi, jadi hanya bisa belajar di malam hari. Itu pun kalau tidak malas. Keadaan yang tidak berubah dari tahun ke tahun membuat orang-orang di sini jadi pesimis. Jarang ada orangtua yang memperbolehkan anaknya sekolah, selain karena tidak adanya biaya, mereka juga berpikir percuma saja sekolah. toh tidak akan bisa mengubah banyak takdir mereka yang hanya buruh kecil," kata-kata Echa menimbulkan riak kecil di hati Uli.

            Betapa kontrasnya kehidupan di Liwa sini dengan kehidupannya di kota yang serba berkecukupan. Nasib setiap orang memang berbeda, tapi betapa tidak adilnya ketika sebuah keluarga masih kebingungan mencari sesuap nasi, sementara dirinya malah terobsesi dengan berbagai kompetisi yang bisa jadi tidak begitu penting dibanding pendidikan anak-anak di Liwa.

            Empat hari kemudian Uli pulang dengan semangat baru dalam dirinya. Semangat untuk setidaknya sedikit meringankan beban keluarga Echa dan keluarga petani kopi lainnya di Liwa dengan menghimpun dana sumbangan. Uli sudah melupakan ambisinya menjadi girl ambassador, ia lebih memilih untuk memperjuangkan hal yang dirasanya lebih penting. Dengan bantuan Papa, Uli juga berhasil mengirim satu paket alat-alat tulis untuk Echa dan teman-temannya.

***

            Dua bulan kemudian..

            "Uliiiii, elo dipanggil Pak Didit tuh suruh menghadap ke kantor!" teriak Kenya cempreng. Mengagetkan Uli yang tengah melahap sepiring batagor.

            Dengan langkah seribu dan tanpa babibu lagi, Uli segera meluncur ke ruangan Pak Didit. Sepuluh menit kemudian ia keluar dengan wajah sumringah dan teriak histeris.

            " Kenyaaaaaa! Laporan penelitian gue... laporan gue....,"

            "Apaan sih Li? Kalau ngomong yang jelas"

            "Kata Pak Didit, pihak pemerintah dan sponsor sangat tertarik dengan laporan gue, konsekuensinya... gue harus rela dikirim ke Amerika minggu depan untuk pertemuan para duta fair trade dari seluruh dunia! Gue...gue..., gu-gue ke Amerikaaaa!!!" Uli sudah terduduk di lantai saking girangnya. Seisi kantin ikut mengerumuninya untuk mengucapkan selamat.

            "Dan kabar terbaiknya, Echa yang dulu pernah gue certain itu sekarang sudah bisa sekolah lagi berkat kepedulian seorang donator."

            "Elo emang hebat Li, dengan tulisan elo nasib seseorang bisa berubah. Sekarang percaya kan, kalau Tuhan punya rencana lain, rencana yang lebih indah"

            Uli hanya tersenyum kecil mendengar perkataan Kenya. Benar apa kata sobatnya itu, mungkin menjadi girl ambassador memang bukan takdirnya, namun ternyata Tuhan sudah menyiapkan kado yang lebih istinewa untuk dirinya.

***

(oleh: Robitotul Asna, foto: weheartit.com)