Janji Tak Terbayar

By Astri Soeparyono, Sabtu, 8 September 2012 | 16:00 WIB
Janji Tak Terbayar (Astri Soeparyono)

"Iwan, kamu sudah keterlaluan! Sekarang, cepat pergi dari rumah ini1 aku juga sudah muak melihat kelakuanmu. Kamu tidak sadar anak kita melihat semua ini?" Mama menatap Papa dengan geram. Matanya sembab dan pipinya berlinang air mata.

Papa tersenyum kecut.

"Anak kita kamu bilang? ANAK KITA? BEGITU, HAH? Bodo amat dengan dia! Aku tak peduli!"

Plaaakk! Tamparan telak itu bersarang di pipi kiri Papa. Kulihat Mama berdiri tertegun. Mungkin tidak menyangka bisa sampai menampar Papa. Beberapa detik berlalu dalam keheningan.

"Giska! Sialan kamu!" Plakk! Bruukk! Plakk!! Aku menutup telingaku. Perlahan air mataku mengalir. Aku tak ingin melihat hal itu. Tamparan, pukulan, tendangan selalu menghiasi suasana pagiku yang indah. Padahal tadi pagi Mama sudah berjanji untuk mengajakku ke taman. Tapi kalau sudah begini pasti rencana itu batal. Papa benar-benar telah mengacaukan semuanya.

Ya Tuhan, tolong Mama. Aku tak ingin Mama sedih terus. Sadarkan Papa ya Tuhanagar menganggap Mama sebagai perempuan yang harus dilindungi bukan disakiti. Sepenggal doa menggema di sudut hatiku. Setidaknya hatiku sedikit tenang saat bercakap dengan-Nya. Aku cemas dengan keadaan Mama.

Ting..tong! Bel pintu berbunyi. Aku bersorak kecil. Mudah-mudahan itu Nenek. Meski aku juga tidak terlalu senang dengan kedatangan Nenek, setidaknya hal itu bisa 'mengusir' Papa.

Papa segera menghentikan aniayanya pada Mama dan kabur lewat pintu belakang. Aku sudah hafal gerak-geriknya. Papa selalu begitu jika ada yang datang.

Kulihat Mama menghampiri wastafel di dekat toilet tamu lalu membasuh wajah dan menyekanya cepat. Tak lama Mama sudah membuka pintu. Seonggok wajah tegas muncul diikuti wajah datar, bergegas masuk ke dalam rumah. Itu Kakek dan Nenekku. Mereka membawa buah yang banyak dan dua koper besar. Mungkin berisi baju-baju Mama.

Mama memeluk Kakek lalu mencium Nenek. Selalu ada senyum canggung di wajah Kakek saat Mama memeluknya. Sebaliknya, Nenek terlihat berkaca-kaca saat mencium Mama. Aku makin tak mengerti.

"Sudah makan Gis?" sapa Kakek saat melintasi ruang tengah untuk membawa koper-koper itu ke kamar. Mama yang berjalan bersama Nenek di belakang Kakek menyahut pelan, "Sudah Ayah."

"Kalau begitu, Ibu kupaskan jeruk biar kamu tetap segar..." aku mengerjab takjub saat melihat Nenek mengupas jeruk. Tangan keriputnya benar-benar cekatan bila dibandingkan dengan Mama.