Janji Tak Terbayar

By Astri Soeparyono, Sabtu, 8 September 2012 | 16:00 WIB
Janji Tak Terbayar (Astri Soeparyono)

"Lebih baik kita berpisah dan tak usah berhubungan lagi!"

 "Apa? Pisah? Bagaimana dengan an...?"

 "Aku tak ingin membahasnya lagi. Aku sudah berulang kali mengingatkanmu soal ini dan kamu tak peduli! Kamu memang susah diatur!!"

***

Aku terjaga dari tidurku. Suara berbantah-bantahan itu menggetarkan sekujur tubuhku. Aku mengigil dengan ngeri lalu meringkuk dengan gelisah. Pasti lelaki itu mengamuk lagi.

Benar saja. Tak lama kudengar tangisan mendayu-dayu. Suara Mama. Aku benar-benar sedih. Setiap hari aku harus mendengar hal yang sama. Aku kasihan pada Mama. Aku sangat menyayanginya. Dia Ibu yang hebat, yang tetap tersenyum sambil membelaiku meski aku bisa merasakan deritanya.

Aku ingin menghiburnya tapi aku tak bisa. Aku terlalu kecil. Kata Mama, dengan tidak nakal saja aku sudah membantunya. Makanya sampai sekarang aku berusaha untuk tidak melakukan sesuatu yang membuat Mama repot. Tapi kadang-kadang kekhilafanku sebagai anak kecil tak bisa kuhindari.

Suara rebut-ribut itu masih terdengar. Kali ini sambil diselingi jeritan menyayat Mama. Aku geram. Mengapa lelaki itu harus hadir dalam kehidupan kami? Dia sama sekali tidak menggembirakan tapi malah menyusahkan. Aku benci dia!

Namun Mama selalu mengingatkanku untuk tidak membencinya. Padahal nyata-nyata Mama sudah sering disakitinya. Kenapa? Karena dia PAPAKU!

Bagiku, secara biologis iya, tapi secara akal sehat tidak. Papa mana di dunia ini yang tega menyakiti keluarganya? Aku tak habis pikir. Aku makin kasihan pada Mama. Mengapa Mama memilih cowok seperti Papa? Mama orang yang sangat baik.

Giska, kalau kamu tidak melakukannya dalam minggu ini, kamu akan tahu akibatnya! Aku sudah muak, kamu selalu mengulur-ulur waktu! Dasar perempuan bodoh!" Papa meraung-raung. Ia terlihat sangat marah. Mama hanya menunduk sambil sesenggukan. Kurasa jika hal itu berlanjut dua bulan lagi, air mata Mama sudah mongering.

"Giska! Kamu dengar aku kan? Jawab! Jangan hanya diam, pura-pura bego begitu!" Papa mendorong keras tubuh Mama sampai terjengkang ke belakang. Untunglah di belakang Mama ada sofa.

"Iwan, kamu sudah keterlaluan! Sekarang, cepat pergi dari rumah ini1 aku juga sudah muak melihat kelakuanmu. Kamu tidak sadar anak kita melihat semua ini?" Mama menatap Papa dengan geram. Matanya sembab dan pipinya berlinang air mata.

Papa tersenyum kecut.

"Anak kita kamu bilang? ANAK KITA? BEGITU, HAH? Bodo amat dengan dia! Aku tak peduli!"

Plaaakk! Tamparan telak itu bersarang di pipi kiri Papa. Kulihat Mama berdiri tertegun. Mungkin tidak menyangka bisa sampai menampar Papa. Beberapa detik berlalu dalam keheningan.

"Giska! Sialan kamu!" Plakk! Bruukk! Plakk!! Aku menutup telingaku. Perlahan air mataku mengalir. Aku tak ingin melihat hal itu. Tamparan, pukulan, tendangan selalu menghiasi suasana pagiku yang indah. Padahal tadi pagi Mama sudah berjanji untuk mengajakku ke taman. Tapi kalau sudah begini pasti rencana itu batal. Papa benar-benar telah mengacaukan semuanya.

Ya Tuhan, tolong Mama. Aku tak ingin Mama sedih terus. Sadarkan Papa ya Tuhanagar menganggap Mama sebagai perempuan yang harus dilindungi bukan disakiti. Sepenggal doa menggema di sudut hatiku. Setidaknya hatiku sedikit tenang saat bercakap dengan-Nya. Aku cemas dengan keadaan Mama.

Ting..tong! Bel pintu berbunyi. Aku bersorak kecil. Mudah-mudahan itu Nenek. Meski aku juga tidak terlalu senang dengan kedatangan Nenek, setidaknya hal itu bisa 'mengusir' Papa.

Papa segera menghentikan aniayanya pada Mama dan kabur lewat pintu belakang. Aku sudah hafal gerak-geriknya. Papa selalu begitu jika ada yang datang.

Kulihat Mama menghampiri wastafel di dekat toilet tamu lalu membasuh wajah dan menyekanya cepat. Tak lama Mama sudah membuka pintu. Seonggok wajah tegas muncul diikuti wajah datar, bergegas masuk ke dalam rumah. Itu Kakek dan Nenekku. Mereka membawa buah yang banyak dan dua koper besar. Mungkin berisi baju-baju Mama.

Mama memeluk Kakek lalu mencium Nenek. Selalu ada senyum canggung di wajah Kakek saat Mama memeluknya. Sebaliknya, Nenek terlihat berkaca-kaca saat mencium Mama. Aku makin tak mengerti.

"Sudah makan Gis?" sapa Kakek saat melintasi ruang tengah untuk membawa koper-koper itu ke kamar. Mama yang berjalan bersama Nenek di belakang Kakek menyahut pelan, "Sudah Ayah."

"Kalau begitu, Ibu kupaskan jeruk biar kamu tetap segar..." aku mengerjab takjub saat melihat Nenek mengupas jeruk. Tangan keriputnya benar-benar cekatan bila dibandingkan dengan Mama.

Jika kuperhatikan Mama mungkin dulunya adalah anak manja. Aku tak pernah melihat Mama memasak makanan sendiri. Selama ini Mama hanya pesan di restoran sebelah untuk sarapan dan makan siang. Biasanya untuk makan malam, Mama hanya memanggang roti dan menggoreng sosis.

"Giska, kapan kamu akan siap?" Kakek  langsung mencecar Mama dengan pertanyaan begitu selesai mengangkut koper-koper dan duduk di samping Mama. Mama hanya diam. Raut wajahnya berubah masam.

"Aku tidak tahu Ayah. Mungkin nan..."

"Apa? Nanti? Kamu pikir ini masalah sepele?" suara Kakek meninggi. Nenek segera menegur Kakek.

"Sssstt, Pak. Jangan keras-keras. Kedengaran tetangga kan malu."

"Tapi Bu kalau begini terus, kita bisa terlambat. Kalau sudah terlambat, kita tidak bisa berbuat apa-apa!" Kakek menatap Nenek serius.

Nenek segera duduk mengapit  Mama lalu berkata dengan amat tenang, "Iya, saya mengerti. Tapi kalau Giska belum siap, ya, kita harus sabar. Yang menjalani kan dia, biar dia yang memutuskan, Pak."

"Ya sudah. Terserah kamu Gis. Ayah ingin melakukan yang terbaik bagi kamu. Tapi kalau kamunya tidak terima, terserah..." Kakek terlihat menyerah lalu meraih jeruk dan mengunyahnya.

"Tapi Bu... aku benar-benar takut. Aku tak tahu kalau aku bisa.." Mama mulai terisak. Ya ampun...kenapa Mama tak bisa berhenti menangis? Kenapa semua orang selalu membuat Mama sedih?

Aku ingin sekali melindungi ­­Mama dari semua tekanan-tekanan mereka. Selama ini Mama selalu melindungiku dari terjangan dan tendangan Papa, meski Mama sendiri harus kesakitan.

Aku menantikan saat-saat itu. Saat aku sudah besar dan mampu melakukan apa saja termasuk melindungi Mamaku. Saat itu pasti saat yang amat tepat untuk membalas semua pengorbanan Mama untukku.

"Kalau begitu kami pulang dulu. Kamu istirahat saja dan jangan terlalu capek. Ibu khawatir melihat kamu," Mama mengangguk. Kakek dan Nenek lalu bergegas menuju pintu dan terlihat takut dipergoki orang. Aneh, sangat aneh.

"Sayang, maaf ya kita tidak jadi ke taman. Lain kali, Mama pasti tidak akan ingkar lagi." Mama membelaiku penuh sayang. Aku tersenyum. Mamaku begitu hebat. Ia tak pernah membagi lukanya padaku.

"Di sini cuma ada kita berdua. Jadi kita harus saling menjaga. Jangan nakal ya, nanti Mama repot."

Aku mengangguk. Entah Mama melihat atau tidak, ada sinar keyakinan dari mataku. Aku yakin Mama akan terus menjagaku sampai kapanpun. Karena aku adalah buah hatinya.

Tuhan, jangan hapus senyum itu dari wajah Mama. Semoga Mama tidak membenciku karena akulah penyebab semua ini. Nyanyian Mama membuatku terlena dan mulai terlelap.

***

Ketika aku bangun, kudengar Mama berteriak kesakitan. Ya ampun! Aku lupa kalau aku tidak boleh banyak bergerak. Pasti ketika aku meronta karena mimpi burukku tadi, kakiku menendang perut Mama. Pantas saja Mama terbaring tak berdaya di ranjang. Maaf Ma, aku sering lupa kalau sudah bermimpi. Aku lupa kalau aku ada dalam kandungan Mama.

Mama bergegas ke dapur dan meminum segelas air putih. Napasnya bergemuruh di dada. Seandainya Papa ada di sini, pasti Mama tak perlu sepanik ini. Tapi Papa tak ada di sini karena Papa tidak menginginkanku. Ia membenciku dan membenci Mama yang rela mengandungku. Seharusnya Papa tak boleh begitu. Dia harus menanggung beban moral ini bersama Mama. Tapi dengan cueknya dia pergi dari Mama ketika tahu aku mulai hadir. Dasar bajingan! Dia bahkan tak mau menikahi Mama. Benar-benar tidak tahu diri!

Sore ini terasa lain. Mama lebih banyak bercerita padaku tentang impian-impiannya. Jika aku lahir akan diberi nama apa, sekolah di mana, pesta ulang tahunku, jalan-jalan, belanja, dan hal-hal yang akan terjadi setelah aku lahir.

Aneh, biasanya Mama selalu bercerita tentang masa kecilnya atau memberiku nasihat. Mama berecerita kali ini seperti aku akan lahir besok. Matanya berbinar bahagia meski suaranya bergetar. Sebelum aku terlelap karena belaian Mama, ia berkata lembut, "Maafkan Mama sayang, jika tak semua dapat Mama penuhi. Doakan Mama agar Mama kuat menghadapi semua ini sendirian. Mama yakin suatu saat nanti kamu akan mengerti dengan semua yang Mama lakukan..."

***

Pagi berikutnya, kudapati Mama, Nenek, dan Kakek sedang naik mobil entah pergi kemana. Aku bersorak girang karena kukira kami akan jalan-jalan berempat. Saking senangnya aku menendang perut Mama lagi. Mama hanya meringis.

Sepanjang perjalanan aku bersenandung kcil. Bahagia rasanya punya keluarga yang mulai mencintaiku. Meski wajah Kakek dan Nenek tegang aku berusaha untuk tetap tersenyum. Terima kasih Tuhan, akhirnya hari ini datang.

Mobil yang dikendarai kakek berhenti di suatu tempat yang aneh. Aku tidak tahu tmpat apa yang pasti bukan tempat yang bagus untuk jalan-jalan. Kulihat Mama ragu-ragu untuk turun. Ada apa, sih? Orang dewasa memang aneh!

Aku baru mulai sadar saat kakek menghampiri seorang perempuan yang menanti di depan pintu. Kakek menyalaminya lalu bertanya.

"Ini tempat dokter Kartono kan? Saya sudah membuat janji kemarin. Boleh kami masuk?"

Perempuan itu mengangguk cepat. "Ini Pak Sudarmo?" kini giliran kakek yang mengangguk. Perempuan itu segera menyambung, "Mau aborsi kan?" kakek mengangguk segan.

APA? ABORSI? APA ITU?

"Silakan masuk. Dokter ada di dalam. Ibu sudah siap kehilangan bayi ibu?" perempuan itu bertanya ramah pada Mama.

Kehilangan bayi? Apa aku...apa aku? Mama...MAMA! Jangan lakukan itu! jangan gugurkan aku! MAMA! MAMA! JANGAAAAANN!!!

Mama tak menggubris teriakanku. Ia berjalan pelan memasuki rumah mungil berdinding cokelat itu.

***

 

Oleh: Delany Manoppo