Janji Tak Terbayar

By Astri Soeparyono, Sabtu, 8 September 2012 | 16:00 WIB
Janji Tak Terbayar (Astri Soeparyono)

"Sayang, maaf ya kita tidak jadi ke taman. Lain kali, Mama pasti tidak akan ingkar lagi." Mama membelaiku penuh sayang. Aku tersenyum. Mamaku begitu hebat. Ia tak pernah membagi lukanya padaku.

"Di sini cuma ada kita berdua. Jadi kita harus saling menjaga. Jangan nakal ya, nanti Mama repot."

Aku mengangguk. Entah Mama melihat atau tidak, ada sinar keyakinan dari mataku. Aku yakin Mama akan terus menjagaku sampai kapanpun. Karena aku adalah buah hatinya.

Tuhan, jangan hapus senyum itu dari wajah Mama. Semoga Mama tidak membenciku karena akulah penyebab semua ini. Nyanyian Mama membuatku terlena dan mulai terlelap.

***

Ketika aku bangun, kudengar Mama berteriak kesakitan. Ya ampun! Aku lupa kalau aku tidak boleh banyak bergerak. Pasti ketika aku meronta karena mimpi burukku tadi, kakiku menendang perut Mama. Pantas saja Mama terbaring tak berdaya di ranjang. Maaf Ma, aku sering lupa kalau sudah bermimpi. Aku lupa kalau aku ada dalam kandungan Mama.

Mama bergegas ke dapur dan meminum segelas air putih. Napasnya bergemuruh di dada. Seandainya Papa ada di sini, pasti Mama tak perlu sepanik ini. Tapi Papa tak ada di sini karena Papa tidak menginginkanku. Ia membenciku dan membenci Mama yang rela mengandungku. Seharusnya Papa tak boleh begitu. Dia harus menanggung beban moral ini bersama Mama. Tapi dengan cueknya dia pergi dari Mama ketika tahu aku mulai hadir. Dasar bajingan! Dia bahkan tak mau menikahi Mama. Benar-benar tidak tahu diri!

Sore ini terasa lain. Mama lebih banyak bercerita padaku tentang impian-impiannya. Jika aku lahir akan diberi nama apa, sekolah di mana, pesta ulang tahunku, jalan-jalan, belanja, dan hal-hal yang akan terjadi setelah aku lahir.

Aneh, biasanya Mama selalu bercerita tentang masa kecilnya atau memberiku nasihat. Mama berecerita kali ini seperti aku akan lahir besok. Matanya berbinar bahagia meski suaranya bergetar. Sebelum aku terlelap karena belaian Mama, ia berkata lembut, "Maafkan Mama sayang, jika tak semua dapat Mama penuhi. Doakan Mama agar Mama kuat menghadapi semua ini sendirian. Mama yakin suatu saat nanti kamu akan mengerti dengan semua yang Mama lakukan..."

***

Pagi berikutnya, kudapati Mama, Nenek, dan Kakek sedang naik mobil entah pergi kemana. Aku bersorak girang karena kukira kami akan jalan-jalan berempat. Saking senangnya aku menendang perut Mama lagi. Mama hanya meringis.

Sepanjang perjalanan aku bersenandung kcil. Bahagia rasanya punya keluarga yang mulai mencintaiku. Meski wajah Kakek dan Nenek tegang aku berusaha untuk tetap tersenyum. Terima kasih Tuhan, akhirnya hari ini datang.

Mobil yang dikendarai kakek berhenti di suatu tempat yang aneh. Aku tidak tahu tmpat apa yang pasti bukan tempat yang bagus untuk jalan-jalan. Kulihat Mama ragu-ragu untuk turun. Ada apa, sih? Orang dewasa memang aneh!

Aku baru mulai sadar saat kakek menghampiri seorang perempuan yang menanti di depan pintu. Kakek menyalaminya lalu bertanya.

"Ini tempat dokter Kartono kan? Saya sudah membuat janji kemarin. Boleh kami masuk?"

Perempuan itu mengangguk cepat. "Ini Pak Sudarmo?" kini giliran kakek yang mengangguk. Perempuan itu segera menyambung, "Mau aborsi kan?" kakek mengangguk segan.

APA? ABORSI? APA ITU?

"Silakan masuk. Dokter ada di dalam. Ibu sudah siap kehilangan bayi ibu?" perempuan itu bertanya ramah pada Mama.

Kehilangan bayi? Apa aku...apa aku? Mama...MAMA! Jangan lakukan itu! jangan gugurkan aku! MAMA! MAMA! JANGAAAAANN!!!

Mama tak menggubris teriakanku. Ia berjalan pelan memasuki rumah mungil berdinding cokelat itu.

***

 

Oleh: Delany Manoppo