Ekuatorian

By Astri Soeparyono, Senin, 13 Agustus 2012 | 16:00 WIB
Ekuatorian (Astri Soeparyono)

Kulminasi atau apa pun itu, Rian tak peduli. Gadis manis di depan matanya lebih dulu mengaburkan bayangnya. Makin lama ia makin dekat dengan Naisha. Entahlah, ada suatu perasaan lain yang membuatnya nyaman saat berada di dekatnya. Hingga ia pun tersadar kalau ternyata ia menyukainya. Ya, Rian menyukai Naisha. Dan ia berharap akan sebuah hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan atau persahabatan. 

Memang Rian baru mengenalnya beberapa minggu, tapi itu sudah cukup untuk meyakinkan hatinya. Tidak seperti Eratosthenes yang perlu bertahun-tahun sampai dia menemukan koordinat akurat garis lintang bumi, Rian hanya perlu 20 hari untuk mengkoordinasi perasaannya. Ia harus menyatakan cintanya. Tak peduli diterima atau tidak, yang penting ia sudah berusaha.

Memang keberaniannya tidak terlalu besar. Sungguh sulit bila harus mulut yang dipaksa berbicara. Terpaksa ia harus memilih opsi yang ditawarkan teknologi. Lewat SMS, ia nyatakan perasaannya.

"Nai, aku sebenernya suka sama kamu. Kamu mau, enggak, jadi pacar aku!" tulis Rian dalam pesannya di malam itu. Rian tahu pesan itu terkirim dengan baik. Tapi Naisha belum kunjung membalas. Ditelpon pun tidak dijawab. Bukannya Naisha menolak, tapi ia tak tahu apa yang harus ia jawab. Ia bingung. 

Sebuah pesan kembali diterima Naisha, "Nai, aku tahu kamu baca SMS ini. Aku juga tahu kamu perlu waktu. Besok hari libur dan tepat tanggal 23 Maret. Aku tunggu jawabanmu besok pagi tepat sebelum kulminasi matahari. Aku akan menunggumu di dekat Tugu Khatulistiwa, Nai!"

* * * 

Sejak dari pukul 9 pagi tadi, Taman Khatulistiwa, tempat tugu titik nol khatulistiwa berada sudah dipadati oleh masyarakat dan para wisatawan yang ingin menyaksikan kulminasi matahari. Sebuah alat deteksi kulminasi berupa besi bulat sepanjang dua meter yang dihubungkan dalam dua rangkap lensa cembung telah dipersiapkan di depan tugu. Lensa cembung itu digunakan untuk menangkap sinar matahari ketika tepat di titik nol derajat garis ekuator.

Orang-orang berkerumun, tapi Rian memisahkan diri. Tujuannya bukan menyaksikan kulminasi, jawaban dari Naisha-lah yang ia nanti. Ia sudah mencoba mengirim SMS pada Naisha berkali-kali, tapi tidak dibalas. Di bawah teriknya sinar mentari, Rian mencoba tetap berdiri untuk memperhatikan sekeliling. Ia tahu Naisha pasti datang. Ia akan datang, begitu pikirnya.

Satu jam berlalu. Dua jam sebentar lagi berlalu. Rian masih terus berdiri seperti Tugu Khatulistiwa yang juga masih kokoh berdiri. Matahari bersinar dengan penuh arogansi. Kepalanya mulai pusing. Oh tidak, penyakit kronisnya mulai kambuh lagi. Tidak, Rian tidak boleh ambruk. Demi Naisha ia tak boleh putus asa. Kali ini ia yakin akan sistem tubuhnya. 

"Bertahanlah Rian, Naisha akan datang sebentar lagi. Naisha pasti datang!" pikirnya bergumam sendiri. 

Jam sudah menunjukkan pukul 11 lebih 40 menit. Semua orang mengerumuni alat deteksi kulminasi matahari, tapi Rian masih enggan untuk berpindah posisi. Matahari sedang menuju titik kulminasi. Bayangannya mulai perlahan menghilang. Bumi terasa berotasi begitu cepat. Entahlah, mungkin itu hanya perasaan Rian saja. Sekeliling terasa berputar. Sengatan panas mentari membuat tubuhnya bergetar.

"Tidak, aku pasti bertahan!" Rian terus meyakinkan diri.