Benny dan Jessie

By Astri Soeparyono, Jumat, 10 Agustus 2012 | 16:00 WIB
Benny dan Jessie (Astri Soeparyono)

Hari ini nyaris sama seperti dulu, ketika Tasia mengenalkan Benny padaku. Wajahnya nampak ceria, tapi entah mengapa perasaanku tidak selaras dengannya....

"Seseorang memberiku sesuatu," Tasia memulai. "Boneka teddy, sama seperti kalian."

Aku tidak mengerti...

"Seseorang yang aku suka sejak lama," ia melanjutkan, pipinya merona. "Dan aku pikir akan ada sedikit perubahan."

Perubahan?

Sebagai jawaban, Tasia mengambil Benny dan memindahkannya ke sisi seberang, di salah satu baris rak buku.  Dan kemudian, dia meletakkan sebuah makhluk berbulu putih mulus dengan pita merah menyala di satu telinga bundarnya, tepat di samping Benny.

"Namanya Merry," ucap Tasia, hanya ditujukan kepada Benny. "Dia manis sekali, dan aku rasa Benny lebih serasi dengannya."

Apa?

***

Sekarang aku tahu, muara dari segala tanda tanya yang dulu bergulat dalam pikiranku. Sesuatu yang semula samar dan kabur, sesuatu yang awalnya tak terjabarkan, sesuatu yang membuatku bertanya-tanya...apa yang kutangisi saat itu? Dan alasannya ada pada diriku.

Aku menangisi keberuntunganku.

Aku ingin menjadi manusia.

Manusia yang bisa bicara, seseorang yang tak perlu memakai topeng di setiap sisi wajahnya. Sesuatu yang bernyawa. Sesuatu yang tak perlu tersenyum di saat seperti ini.

Aku mencintainya. Itu saja.

***

Selama ini aku salah.

Tasia tidak pernah memahamiku. Di matanya aku tak lebih dari sebuah boneka teddy yang tuli dan bisu, buta dan mati. Aku hanya Jessie. Aku hanya sebuah nama yang tak memiliki jiwa, benda mati yang hanya mengandalkan perasaan untuk memahami. Aneh... ternyata perasaan bahagia bisa membuat seseorang buta akan hal yang benar.

Dan sekarang aku hanya ingin tahu. Siapakah nama penciptaku? Dia mana dia saat ini? Apa ia masih hidup? Aku tidak tahu. Dialah satu-satunya manusia yang memahamiku, meskipun kami tak pernah saling berbicara dan bersua lagi. Dia sadar bahwa selama ini aku kesepian, hal yang bahkan tak kusadari, dan mengirimkanku sebuah teman. Sebuah teman yang kini pergi....

Benny.

Benny masih terduduk di sana. Diam, meski kami saling menatap. Kata, perasaan, pikiran... semua sudah berakhir. Tamat. Sekalipun dia diciptakan untuk aku dan kami adalah satu, aku harus mengerti. Cinta tidak harus memiliki, bukan?

Oleh:Benefitasari Intan Nirwana