Gadis-Gadis Malam

By Astri Soeparyono, Minggu, 17 Juni 2012 | 16:00 WIB
Gadis-Gadis Malam (Astri Soeparyono)

            Keduanya tersipu-sipu, tampak manis sekali. Tiba-tiba aku ingin memotret mereka. "Hei, kalian mau kufoto, enggak?" tanpa kusadari aku sudah menawarkan.

            "Satu kali saja. Gratis deh."

            Milane memekik senang. Tyllan melompat bangun, buru-buru mengajak Aleene, yang rupanya belum menemukan desain yang sesuai seleranya.

            "Kami mau difoto di mana?" tanya Aleene.

            "Di sini saja, deh," ujarku, menunjuk sebuah sofa merah jambu. Ketiga gadis itu langsung menyerbunya. Terjadi keributan ketika masing-masing berebut duduk di tengah, biar keliatan paling jelas. Dasar cewek, narsis beraaat!

            "Foto yang bagus, ya," kata Aleene, merangkut adik bungsunya.

            "Buat kenang-kenangan, nih," ujar Tyllan bersemangat.

            "Mas," kata Milane lembut. "Foto kami yang cantik, ya."

            Aku mengacungkan jempol. "Siap ya? Satu...dua...tiga!"

            Jepret!

***

            Aku sedang menikmati secangkir kopi sebulan kemudian, sendirian. Jon sedang jalan sama pacar barunya yang menor itu. tiba-tiba seorang wanita masuk ke studio kami. Otomatis aku berdiri.

            "Ada yang bisa kami bantu, Bu?"

            Wanita itu tersenyum kecil. "Bisa tolong di-scan-kan ini?" ia menyerahkan sebuah majalah yang terbuka pada halaman tengahnya.

            "Oh, bisa, Bu. Silahkan duduk dulu," aku menawarkan kursi di sampingku.

            "Terima kasih," kata wanita itu, lalu duduk dengan anggun.

            Aku membaca sekilas halaman yang dimaksud wanita itu. 'Pemenang Lomba Foto Kampanye Trade Fair, begitu judul artikelnya. Aku melihat gambar di bawahnya, dan seketika jantungku serasa terhempas ke tanah. "Wah! Foto petani kopi ini kan..."

            "Karya almarhum putri saya," sambung si wanita, bangga sekaligus sedih.

            "Al...almarhum?" aku mengulang, tak mempercayai pendengaranku.

            "Sebentar lagi peringatan seratus hari meninggalnya Milane," ujar wanita itu. "Dia dan kedua putri kami yang lain, Aleene dan Tyllan, meninggal karena kecelakaan tepat setelah mengambil foto itu, hanya setengah kilometer dari kebun kopinya. Saya mengirimkan foto ini untuk mengenang kerja keras mereka. Sayang sekali mereka tidak tahu mereka menang...." Airmatanya mulai mengalir, ia mengelapnya dengan tisu. "Maaf, saya belum bisa mengatasi kesedihan saya. Mereka bertiga pergi begitu cepat....padahal harusnya minggu lalu Aleene menikah..."

            Aku tak sanggup berkata-kata. Kupandangi foto Ibu Petani Kopi itu lekat-lekat. Tiga bulan lalu? Tidak mungkin mereka meninggal tiga bulan lalu. Ketiganya datang kemari tanggal dua puluh delapan, di hari ulang tahun Pak Manajer, itulah kenapa hanya ada aku dan Jon di studio. Dan...tanggal dua puluh delapan itu...masih tiga puluh dua hari yang lalu!

            Lalu aku ingat. Aku telah memotret mereka! Buru-buru aku mebuka folder Milane. Kubuka foto mereka bertiga. Saat itu juga, aku merasa bagai diguyur air es.

            Padahal tadi malam aku sempat membukanya.

            Padahal tadi malam, aku masih mengagumi wajah manis mereka.

            Tapi kenyataannya....

            Sekarang dalam foto itu, hanya ada sofa merah muda.

***

 

Oleh: Reisa Devi