Aku, Kopi

By Astri Soeparyono, Minggu, 15 April 2012 | 16:00 WIB
Aku, Kopi (Astri Soeparyono)

Hai, namaku kopi. Kalian pasti sudah mengenalku.

Aku hitam dan pahit.

          Tapi apakah kalian pernah tahu betapa pahit pula perjuangan seseorang yang telah merawatku hingga bisa menjadi capucinno lezat yang ada di mug kalian saat ini?

          Oke. Mungkin aku akan sedikit bercerita.

***

Aku tumbuh besar di daerah pegunungan di Malang. Hidup di tanah yang hanya sekitar tiga hektar saja, membuatku tidak bisa menjadi kopi yang terkenal dan dilihat banyak orang.

          Ialah, bang Iwan. Front man di balik hidupku dan teman-temanku. Berbekal keahliannya sewaktu dua tahunan menjadi buruh tani, ia membeli tiga hektar tanah dan menanaminya dengan kopi, ya aku ini.

          Sungguh kenyataan yang perih ketika sadar bahwa saingan bang Iwan ternyata tidak sedikit. Karena keadaannya, persaingan di dunia kerjanya bang Iwan tidak hanya sekadar dalam menawarkan harga yang semurah-murahnya pada pabrik, karena, you know lah, mereka yang pasang harga paling murah, paling cepat laku. Tapi juga hal lain, yang mungkin kadang enggak fair.

          Bang Iwan harus rela tiga hektar miliknya yang ketika malam masih baik-baik saja, namun baginya hancur dimakan hama. Dan perlu kamu tahu, hama itu tidak jarang adalah hama yang petani-petani letakkan di lahan milik bang Iwan secara sengaja.

          Lalu akupun harus mati, dan lahir lagi. Begitu terus.

          Aku tumbuh penuh perjuangan. Bang Iwan merawat tiga hektarnya sendiri. Terkadang dibantu oleh anaknya, Aldi, yang masih berumur 10 tahun. Aku hidup tanpa bantuan pupuk pabrik. Pupuk dibuat sendiri oleh Bang Iwan dengan kotoran milik dua ekor sapinya. Aku tidak mengenal obat-obatan untuk menyehatkan tanaman. Aku sehat karena Cinta Bang Iwan.

          Tapi mungkin itulah yang menyebabkan Bang Iwan harus rela menjualku dengan sangat murah. Hasil lahannya yang tidak sebanyak milik petani lain menyebabkan harganya semakin turun. Bang Iwan tidak punya kenalan dari toko-toko ala tani seperti Pak Jonny, petani andalan desa kami yang punya banyak relasi, sehingga otomatis ia berhasil menggaet banyak pabrik-pabrik kopi.

          Lalu ketika akhirnya aku akhirnya berhasil laku oleh seorang pedagang kopi, Mas Rangga, yang sedang merintis usaha sebagai distributor kopinya, betapa bahagianya Bang Iwan. Aku senang, tapi juga sekaligus sangat sedih.

          Mengapa?

          Tiba saatnya untukku untuk meninggalkan Bang Iwan. Aku akan berubah menjadi baru. Aku tidak tahu seperti apa. Aku hanya merasa sangat sedih. Selamat tinggal bang Iwan...

***

          Mas Rangga menjualku pada Koh Hanun. Si Cina sukses yang pandai melirik orang-orang yang sedang merintis karirnya, seperti Mas Rangga ini. Orang baru pasti tidak akan terlalu mahal menjual barangnya. Iya tidak?

          Koh Hanun senang sekali. Ia berhasil mendapatkan kopi sehat tanpa campuran bahan kimia sedikitpun tapi dengan harga yang murah. Wow.

          "Hoho. Pemuda lugu. Anak baru. Tidak tahu dia, kopi macam ini, jarang ditemukan, dari warnanya saja sudah kelihatan kalau kopi asli. Mahal. Tapi dia jual dengan murah...Ha-ha-ha..."

          Sakiit, mendengarnya. Tapi mau bagaimana lagi?

          Lalu, kalau sudah seperti ini, maka Koh Hanun pun bisa melanjutkan rencana kerja samanya pada Pak Widjaja yang seorang importir tani yang sukses menjalin kerja pada beberapa perusahaan multinasional ternama.

          Cek ditandatangani. Kontrak deal.

          Pak Widjaja sangat menyukaiku yang katanya hitam pekat wangi dan murni kopi. Katanya, kopi ini sangat dicari oleh banyak pabrik. Ia memuji Koh Hanun. Kontrak akan diperpanjang selama Koh Hanun masih bisa memasok kopi sepertiku lagi padanya.

          Yah. Dan begitulah.

          Kontrak Koh Hanun diperpanjang. Begitu pula mas Rangga. Dan begitu pula Bang Iwan.

          Aku ikut senang.

          Tapi kenapa aku masih sedih ya?

***

          Perjalananku belum selesai.

          Aku dikirim ke Amerika untuk diubah menjadi kopi yang bisa diminum. Aku sungguh berdebar. Akan menjadi apakah aku?

          Dan ternyata Pak Widjaja menjualku pada Mr. Stephen, pemilik Sharducs. Pengusaha kafe kopi yang sangat amat sangat terkenal. Kafenya bahkan sampai menjadi tren di kalangan masyarakat. Kini Mr. Stephen bahkan merambah usahanya, tidak hanya dalam kafe kopi tapi juga membuat label kopi kalengan dengan merk Sharducs yang suksesnya tidak kalah dengan kafenya.

          Mr. Stephen tentu saja juga menyukaiku. Aku yang tidak bisa didapatkan di Amerika. Aku yang masih asli dan murni. Aku yang belum tercampur apa-apa. Dan yang terpenting...aku yang murah. See, aku. Si kopi yang murah tapi juga sekaligus bermutu tinggi. Aku memang seperti tambang emas bagi mereka.

***

          Akupun memasuki pabrik. Aku berubah.

          Aku yang dulu tumbuh penuh penderitaan. Berulang kali mati, hidup lagi. Aku yang tidak pernah dimanjakan seperti kopi-kopi lain. Aku yang disiram menggunakan tenaga manual. Aku yang dulu tidak pernah laku dijual.

          Sekarang aku adalah kopi Sharducks.

          Aku beken. Aku di mana-mana. Di berbagai negara. Bersih wangi sejuk dalam freezer supermarket. Mengkilat penuh gaya dalam desain kalengku yang menggiurkan dengan tulisan Sharducs besar di depannya. Dicari orang ketika sedang ingin suasana yang tenang dan sepi ataupun hanya ingin bersantai, dengan 40.000 rupiah per gelasnya. Aku yang bahkan sampai dibuat versi imitasinya saking bekennya aku.

          Aku senang. Aku bahagia.

          Tapi aku masih sedih.

          Dan sekarang aku mengerti kenapa.

          Aku tidak ingin aku dengan label Sharducs.

          Aku menginginkan aku dengan Label IWAN.

          Aku merindukan Bang Iwan. Aku tidak tahu saat ini dia seperti apa. Aku sama sekali tidak tahu.

          Aku ingin bertemu dia.

***

          Lalu terjadilah.

          Ketika aku sedang duduk nyaman dalam freezer sebuah giant market yang cozy itu, aku melihat seseorang.

          Bang Iwan! Bersama Aldi dan seorang anak kecil!

          Bang Iwan sudah tua sekali. Sudah keriput, rambutnya sudah beruban. Dan aku melihat Aldi, mendorong trolley besar berisi banyak makanan.

          "Wah, ayah, ternyata toko di kota seperti ini ya...besar sekali..."si anak kecil berkata sambil terkagum-kagum kepada Aldi. Oh, ternyata itu anaknya Aldi.

          Aku berteriak. Tapi percuma. Mereka takkan sanggup mengenaliku. Aku kan sudah berubah. Sekarang aku sudah dalam kaleng.

          Tiba-tiba, anak si Aldi menoleh padaku, seakan tahu kalau aku memanggilnya, aku sudah senang, tapi...

          "Ayah, aku boleh beli minuman itu tidak? Kata teman-teman minuman itu enak sekali..."

          Aldi menatapku sejenak, lalu berkata. "Wah... Terlalu mahal. Ayah tidak punya banyak uang. Besok kita bikin saja sendiri di rumah. Kakek petani kopi. Kenapa kamu harus beli? Besok ayah buatkan yang tidak kalah enaknya? Oke sayang?"

          Si anak cemberut sejenak tapi kemudian ia tersenyum kemudian, mengerti.

          Hatiku hancur. Aku ini mereka yang buat? Kenapa bahkan mereka harus membayar mahal untukku? Apakah mereka tahu bahwa aku, si Sharducs beken adalah aku yang dulu hidup menderita bersama mereka?

          Hatiku hancur lagi. Mereka tidak jauh berbeda dengan yang dulu. Mereka bahkan belum pernah ke giant market. Kalau aku bisa berubah seperti ini, kenapa mereka tidak?

          Hatiku semakin hancur. Ketika Bang Iwan tiba-tiba menoleh padaku, mengangkat kalengku, dan tersenyum hangat, seakan ingin berkata bahwa ia telah merelakan aku.

          Bang Iwan, Aldi, dan anaknya semakin menjauh, lalu hilang.

          Hatiku mencelos.

          Aku tidak tahu lagi.

          Aku hanya bisa berharap, semoga suatu saat nanti anak kecil yang merupakan anak Aldi tadi, bisa membeliku, tanpa harus merengek-rengek seperti tadi lagi.

          Aku, kopi.

          Si kopi durhaka.

***