RUMIT

By Astri Soeparyono, Kamis, 22 September 2011 | 16:00 WIB
RUMIT (Astri Soeparyono)

          Dan bodohnya, aku ketahuan saat sedang mencari apakah ada notes baru di dalam binder kakak. "Ngapain kamu?" teriaknya setelah merebut semua notes dan binder yang ada di tanganku. "Kamu baca semua ya?"

          "Kak," ucapku memulai pembicaraan, "Ada masalah, kan, di kalangan anak teater kelas tiga?"

          Ia menjawab tanpa memalingkan muka sedikit pun. Tangannya masih sibuk merapikan dan memasukkan kembali notes-notes itu. "Ngapain nanya-nanya? Bukan urusanmu."

           "Itu urusanku juga!" jawabku sedikit geram karena diperlakukan begitu. "Kakak enggak tahu sih, gimana rasanya dikucilkan oleh semua orang padahal kita enggak tahu dan enggak salah apa-apa, hanya karena kita adalah saudara dari seseorang yang membuat masalah."

          Kecemasanku terhadap kakak berubah menjadi amarah. "Aku dengan kakak ngerebut Kak Tian dari Kak Sita." Meski aku tahu aku sok tahu, akhirnya aku berani mengatakan apa yang ada di pikiranku. "Kok kakak jahat banget sih?"

          Ia langsung bereaksi, tepat seperti perkiraanku. "Seberapa banyak yang mereka bilang padamu?" Namun di luar dugaan, suaranya mulai terdengar parau. "Asal kau tahu saja, ya, memang apa salahnya sih, jika kami berpacaran?"

          Aku terdiam. " Tian memang dari dulu suka sama aku, tapi satu hal yang semua orang enggak tahu; dia jadian sama Sita karena terpaksa!"

          Kakak terus berteriak menceritakan semuanya dengan badan bergetar. Tentang bagaimana Sita selalu mengancam Tian jika ia minta putus, tentang bagaimana Tian harus mengejek kakak di belakang ketika dirinya sedang berkumpul bersama teman-teman Sita untuk membuat Sita senang. Tentang bagaimana notes yang pertama kali kubaca adalah notes yang diberikan Kak Sita untuk Kak Tian. Ya. Kak Sita menganggap kakakku bagai air putih; sangat biasa - tidak seenak air lainnya. Dan. Masalah property yang mereka gunakan berdua. Sebenarnya Tian sudah minta izin kepada Sita selaku seksi property. Tapi Sita memfitnah Kak Tian ketika tahu Kak Tian menggunakan kamera itu untuk mengerjakan proyek bersama kakakku.

          Aku benar-benar tidak menyangka jika semuanya akan jadi begini. Kakak jelas tertekan - beratus kali lipat melebihi yang kurasakan. Aku merasa bersalah, karena sudah menilai kakak buruk hanya dari pendapat orang-orang.

***

          "Ninaaa!" Dira menghampiriku dari kejauhan. Dira adalah salah satu teman satu kelompokku di teater. "Ada apa?" sahutku.

          "tadi aku sempat dengar pembicaraan kakak kelas dua," ucapnya pelan, "katanya suasana hati anak-anak kelas tiga lagi enggak enak! Kayaknya lagi pada berantem, deh." Ya, aku tahu. Aku tahu semuanya. "Terus, apa hubungannya sama aku?" jawabku. "Masalah mereka kan, kalau mau berantem." Sesaat Dira menatapku seakan aku ini makhluk asing. "Nah, itu dia!" kata Dira penuh semangat. "Yang jadi pembicaraan itu kakakmu!"

          Aku tidak mengatakan apa-apa. Tak ada yang bisa aku, Kak Sita, atau Kak Tian lakukan untuk memperbaiki keadaan. Masalah antara Kak Sita, Kak Tian dan kakakku sepertinya sudah menjadi rahasia umum di kalangan anak teater, bahkan seluruh sekolah. seandainya mereka tahu yang sebenarnya.

          Aku paham sekarang. Ya, masalah antar manusia adalah hal yang paling rumit di dunia ini.

***