Menurutku, hal yang paling rumit di dunia ini adalah matematika. Setidaknya, itu pendapatku sampai saat ini; sampai saat ketika aku mulai membuka lembaran-lembaran terlipat di dalam binder kakakku.
KAMU NINGGALIN SEGELAS ANGGUR CUMA BUAT AIR PUTIH.
Bingung, aku membaca barisan kalimat itu berulang kali. Kenapa ada notes seperti ini ya, di binder kakakku? Siapapun yang menulis surat ini, sepertinya marah besar karena semua huruf ditulis dengan kapital. Apa mungkin ia sedang bertengkar dengan temannya? Ah, peduli amat. Aku membuka lembaran notes berikutnya.
DENGAR-DENGAR, KAMU BIKIN PROYEK SAMA TIAN, KAN?
Setahuku, Tian adalah nama teman seangkatan kakak yang rumahnya enggak jauh dari rumah kami. Setahuku pula, meski kelas Bahasa mereka bersebelahan, mereka enggak pernah dekat. Di setiap ekskul teater yang kami ikutipun aku jarang melihat mereka ngobrol bersama. Bikin proyek bareng? Wah, ini sih kabar mengejutkan. Apalagi, Kak Tian kan pacaran sama Kak Sita.
KITA SIH ENGGAK NGAREPIN DUITNYA, TAPI SEENGGAKNYA KAMU DISKUSI DULU SAMA KITA, DONG...
Duh, kalau seperti ini sih, kayaknya kakak beneran berantem sama temennya.
...APALAGI KALIAN PAKAI PROPERTI YANG KITA DAPAT BARENG.
Aku teringat sesuatu. Kalau enggak salah, di pentas teater yang diadakan oleh angkatan kakak, mereka dapat untung yang lumayan besar, dan kakak juga pernah bilang kalau uang hasilnya bakal dibeliin kamera buat mendokumentasikan setiap pertunjukkan anak teater. Apa itu yang dimaksud, ya? Masa kakak berani berbuat curang begitu, sih, kepada teman-temanya? Yang seperti ini, benar-benar tidak seperti kakakku yang biasanya.
Aku berhenti membaca notes-notes itu sejenak. Kakak yang kukenal, adalah kakak perempuan yang sangat baik. Ia tipe pendiam yang enggak banyak omong dan bertingkah. Meski kupikir ia sedikit lebih konservatif dari yang lainnya, di mataku, kakak enggak pernah punya masalah yang serius dengan teman-temannya. Namun, akhir-akhir ini aku merasa kakak memang agak beerubah. Apa ini ada hubungannya dengan notes-notes itu ya? Aku semakin penasaran. Kuteruskan membaca lanjutan notes tadi.
KITA KAN SUDAH MAU LULUS. SEENGGAKNYA JANGAN PISAH DENGAN CARA KAYAK GINI.
Aku terdiam. Samar-samar, aku mendengar suara kakak dari kejauhan. Dengan tergesa aku memasukkan semua notes ke dalam binder dan menaruhnya kembali ke tempat semula.
***
BRUK!
Terdengar suara berdebun seperti seseorang sedang meninju pintu kamar mandi. Aku, yang baru saja keluar dari salah satu bilik toilet, tentu saja terkejut dan mengurungkan niatku untuk segera keluar dan kembali ke kelas. "Aku kesal banget sama Tian kalau gini jadinya!" sebuah suara terdengar dari luar.
Suara yang lebih berat menyahut. "Kok kamu bisa-bisanya sih, Sit, tahan pacaran sama dia sampai tujuh bulan?"
"Enggak ngerti... yang aku tahu kita lagi enggak ada masalah apa-apa..." Suaranya terdengar serak. Aku kenal suara itu. Aku yakin itu suara Kak Sita. Beberapa saat kemudian, dia mulai menangis. "Tiba-tiba, dia jadi dekat sama Rani... terus dia langsung ninggalin aku gitu saja."
"Padahal dulu Tian bilangnya enggak suka sama Rani karena dia orangnya rada nerd... Ternyata, dia menjilat ludahnya sendiri!"
Aku terdiam. Ya, Rani yang dimaksud tentu saja kakakku. Dia memang bukan orang yang terkenal, dan kutahu kakak adalah seorang anak pendiam, tapi bukan berarti itu semua menjadikannya seorang nerd, kan?
Aku tidak pernah suka dengan Kak Sita dan teman-temannya, tetapi perasaan aneh timbul dalam hatiku. Apa benar kakak tega ngerebut pacar teman sendiri? Pembicaraan ini membuatku muak sekaligus bingung di lain pihak, aku membenci saat mereka menjelekkan kakak - namun di sisi lain, jika itu benar, maka kakak sudah keterlaluan. Hanya melihatnya saja aku sudah tahu kalai Kak Sita benar-benar menyukai Kak Tian. Sepertinya, semua ini berhubungan dengan semua kumpulan notes yang terdapat dalam binder kakak. Tapi, ah, aku tidak mau ambil kesimpulan apa-apa.
Akhirnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku berjalan keluar toilet, member sedikit sapaan kepada mereka yang tentu saja terbengong keheranan, sambil memasang tampang tidak tahu apa pun.
Terserah mereka mau apa.
***
Hari ini tepat seminggu sejak para senior mulai bersikap dingin padaku. Hal yang tentu saja tanpa disadari berdampak pada hubunganku dengan teman-teman seangkatan. Tapi bukan itu masalahnya. Aku masih penasaran dengan kerlibatan kakak. Di tambah lagi, di saat akhir semester satu ini, Kak Tian dan kakak mulai jarang ambil bagian dalam kegiatan teater.
Dan bodohnya, aku ketahuan saat sedang mencari apakah ada notes baru di dalam binder kakak. "Ngapain kamu?" teriaknya setelah merebut semua notes dan binder yang ada di tanganku. "Kamu baca semua ya?"
"Kak," ucapku memulai pembicaraan, "Ada masalah, kan, di kalangan anak teater kelas tiga?"
Ia menjawab tanpa memalingkan muka sedikit pun. Tangannya masih sibuk merapikan dan memasukkan kembali notes-notes itu. "Ngapain nanya-nanya? Bukan urusanmu."
"Itu urusanku juga!" jawabku sedikit geram karena diperlakukan begitu. "Kakak enggak tahu sih, gimana rasanya dikucilkan oleh semua orang padahal kita enggak tahu dan enggak salah apa-apa, hanya karena kita adalah saudara dari seseorang yang membuat masalah."
Kecemasanku terhadap kakak berubah menjadi amarah. "Aku dengan kakak ngerebut Kak Tian dari Kak Sita." Meski aku tahu aku sok tahu, akhirnya aku berani mengatakan apa yang ada di pikiranku. "Kok kakak jahat banget sih?"
Ia langsung bereaksi, tepat seperti perkiraanku. "Seberapa banyak yang mereka bilang padamu?" Namun di luar dugaan, suaranya mulai terdengar parau. "Asal kau tahu saja, ya, memang apa salahnya sih, jika kami berpacaran?"
Aku terdiam. " Tian memang dari dulu suka sama aku, tapi satu hal yang semua orang enggak tahu; dia jadian sama Sita karena terpaksa!"
Kakak terus berteriak menceritakan semuanya dengan badan bergetar. Tentang bagaimana Sita selalu mengancam Tian jika ia minta putus, tentang bagaimana Tian harus mengejek kakak di belakang ketika dirinya sedang berkumpul bersama teman-teman Sita untuk membuat Sita senang. Tentang bagaimana notes yang pertama kali kubaca adalah notes yang diberikan Kak Sita untuk Kak Tian. Ya. Kak Sita menganggap kakakku bagai air putih; sangat biasa - tidak seenak air lainnya. Dan. Masalah property yang mereka gunakan berdua. Sebenarnya Tian sudah minta izin kepada Sita selaku seksi property. Tapi Sita memfitnah Kak Tian ketika tahu Kak Tian menggunakan kamera itu untuk mengerjakan proyek bersama kakakku.
Aku benar-benar tidak menyangka jika semuanya akan jadi begini. Kakak jelas tertekan - beratus kali lipat melebihi yang kurasakan. Aku merasa bersalah, karena sudah menilai kakak buruk hanya dari pendapat orang-orang.
***
"Ninaaa!" Dira menghampiriku dari kejauhan. Dira adalah salah satu teman satu kelompokku di teater. "Ada apa?" sahutku.
"tadi aku sempat dengar pembicaraan kakak kelas dua," ucapnya pelan, "katanya suasana hati anak-anak kelas tiga lagi enggak enak! Kayaknya lagi pada berantem, deh." Ya, aku tahu. Aku tahu semuanya. "Terus, apa hubungannya sama aku?" jawabku. "Masalah mereka kan, kalau mau berantem." Sesaat Dira menatapku seakan aku ini makhluk asing. "Nah, itu dia!" kata Dira penuh semangat. "Yang jadi pembicaraan itu kakakmu!"
Aku tidak mengatakan apa-apa. Tak ada yang bisa aku, Kak Sita, atau Kak Tian lakukan untuk memperbaiki keadaan. Masalah antara Kak Sita, Kak Tian dan kakakku sepertinya sudah menjadi rahasia umum di kalangan anak teater, bahkan seluruh sekolah. seandainya mereka tahu yang sebenarnya.
Aku paham sekarang. Ya, masalah antar manusia adalah hal yang paling rumit di dunia ini.
***