Hujan Yang Kunanti Pergi

By Astri Soeparyono, Senin, 8 Agustus 2011 | 16:00 WIB
Hujan Yang Kunanti Pergi (Astri Soeparyono)

          Hujan terkutuk! Lihatlah perbuatanmu, membanjiri liang cacing malang ini, shingga dia berjuang menyelamatkan diri ke permukaan, tersesat di kamar mandiku.

          Sambil menahan jijik, kusambar gayung dan kusiram cacing itu hingga menghilang k dalam lubang saluran air.

          "Lama sekali kau mandi, tetap saja berdaki!" ujar Vira.

          Ia memang paling senang memulai perkelahian kata-kata denganku, tapi aku malas meladeninya.

          "Sudah. Annablle, kehabisan waktu!" ujar Ayah.

          Piring Ayah dan Elvira sudah kosong. Sementara itu dipiringku teronggok sepotong telur dadar hangus mahakarya Ayahku tercinta. Aku bergidik melihatnya.

          "Biar aku makan di kantin saja. Aku tidak mau terlambat ke sekolah," kataku mngelak.

          Untung Ayah mau mengantarkan kami ke sekolah sebelum beliau berangkat ke kantor barunya. Aku tidak rela membiarkan hujan membasahi badanku, karena tidak ada kau yang akan menghangatkan batinku.

          "Ayah, mengapa berhenti?" tanya Elvira.

           "Jalanan banjir, lvira, macet jadinya," jawab Ayahku.

          "Uhhh, bagaimana ini? Aku tidak ingin terlambat ke sekolah di hari pertamaku!" rengek Vira.

          "Bawel sekali kau," tukasku,"masih SMP saja..."ini gara-gara Kak Anna sih, pakai acara susah dibangunin, mandinya lama lagi,"kata Vira marah.