Aku sudah bersiap membalas ucapan Vira dengan kata-kata pedas, namun Ayah keburu menyela.
"Tolong, diamlah kalian, Ayah lelah mendengar pertengkaran kalian..."
Suasana langsung senyap. Di luar, hujan menguping percakapan kami, riuh menertawakan kecanggungan di antara kami. Barangkali juga menyindirku bahwa diam-diam dalam hatinya Ayah juga menyalahkanku, seperti Elvira. Seperti semua orang lain.
Tidaklah mereka mengerti binag keladi sesungguhnya? Perhatikanlah lekat-lekat, pada hujan yang menumpahkan buih-buih air ke bumi dan menumpahkan segala ksalahan yang diawalinya padaku.
Aku akan menghadapi hujan terkutuk ini, hanya untuk kali ini, daripada terjebak di antara orang-orang yang selalu menimpahkan segala kesusahan padaku.
"Sampai disini saja, Yah. Sekolahku di tikungan itu, aku bisa jalan kesana. Aku juga lelah mendengar rengekan gadis cengeng kesayangan Ayah!" semburku, meraih payung dan membuka pintu mobil.
Bunyi klakson kendaraan meredam apapun yang dikatakan oleh Ayahku dan Elvina. Lagi-lagi suara hujan menjerit senang karena mengira aku menyerahkan diri.
Enak saja, aku memiliki perisai payung hitam legam ini. Justru genanganmu lah yang kocar-kacir, muncrat, kabur kemana-mana menghindar dari injakan sepatuku yang bergesper kras. Kau pun menggerutu kecewa, lambat laun kehilangan minat, namun masih urung berhenti.
Bruuuk... begitu asiknya aku menertawakan kekalahanmu sampai tak kuperhatikan arah langkahku dan kutubruk sosok yang tengah berjalan di trotoar.
"Eh, maaf?"
Orang yang kutabrak ini memakai seragam SMA yang sama seprtiku. Usianya tidak lebih dari stahun di atasku atau mungkin malah sebaya denganku. Ia hanya menanggapi permintaan maafku dengan seulas snyum. Bukan hanya bibirnya yang tersenyum, matanya berkilat ikut tersenyum, mata berwarna kelabu seperti gadis Jepang di sebuah buku yang pernah kubaca.
Matanya bergerak, seiring langkahnya yang bergerak lagi, menembus tirai hujan rintik-rintik, tanpa apapun untuk sekedar menahan rintik yang membasahi tubuhnya.
Lihatlah,
Bagaimana bisa ia berjalan tenang menembus hujan yang menertawakan ketololannya?
Aku masih di tempatku, mata kelabunya laksana sebidang cermin yang memantulkan baying-bayang pudar. Bayangnya pun memudar dan akhirnya aku benar-benar kehilangan dirinya. Entah berapa lama aku terpaku di tempat, sampai aku sadar tujuanku ada di balik tikungan itu.
Mataku mencari mata kelabu itu di setiap sudut gedung sekolah tua ini. Pastilah dia berada di sisi lain gedung ini, di sudut paling sakral untuk memuja keangkuhan hujan, tempat dia bisa mengulurkan tangan meraih percikan rintik sang hujan. Aku sebaiknya, memilih bersembunyi dari hujan di tmpat ini. Nyaman, kering dan hangat, seperti yang selalu kurasa saat kau tersenyum lebar padaku, menghipnotis urat-urat senyumku bekerja. Sayang kau tak jua kembali meski kulihat hujan telah lelah. Biarlah, walaupun mungkin hujan hanya berpura-pura lalu menyerangku di titik kelengahan denga tiba-tiba, kuseret rasa lemahku mencari sepotong bayangnya.
Akhirnya setelah menyibak lekuk-lekuk tempat pemujaan hujan, aku menemukan sosoknya. Ia berdiri bebas, dagunya terangkat dengan beberapa untai rambut basah menjuntai menutupi matanya yang tajam.