Hujan Yang Kunanti Pergi

By Astri Soeparyono, Senin, 8 Agustus 2011 | 16:00 WIB
Hujan Yang Kunanti Pergi (Astri Soeparyono)

Kau tidak menyapaku pagi ini.Kau tidak membangunkanku dari mimpi.Dan mimpi it uterus berlanjut bahkan ketika kelopak mataku trbuka di akhir keremangan fajar ini.

          Lihatlah keluar. Menembus kaca tebal berbingkai mahoni yang tegar menahan deraian titik-titik hujan yang berusaha menerjang masuk, berusaha menyerangku, berusaha menyakitiku dengan rasa dingin yang tak terbayangkan.

          "Bagus sekali, hujanlah yang mengawali hari pertamaku di sekolah baru, " umpatku dalam hati.

          Dan selama hampir 16 tahun hidup di bumi, aku tahu bahwa ini sama sekali bukan pertanda baik. Terlebih kau belum menmukanku di kota ini. Apa kau marah karena aku meninggalkanmu saat kau tengah terlelap?

          Lebih baik tidak kuawali saja hari ini, pikirku sambil merebahkan diriku ke kasur keras itu lagi. Tak lama kemudiaan, kudengarkan pintu kamarku degedor keras.

          "Hei tukang mimpi, cepat bangun. Kau ingin terlambat di hari pertama sekolah?" teerdengar suara cempreng Elvira, adik perempuanku. Berisik sekali.

          Aku bangun dengan bersungut-sungut. Vira terlonjak kaget pintu kamar kubuka dengan kasar tepat di hadapan mukanya.

          "Eh, kata Ayah.... Kamu ditunggu di ruang makan!" katanya sambil buru-buru menyingkir.

          "Tak usah menungguku jika mau sarapan!" teriakku ke arah ruang makan. Entah mereka mendengarnya atau tidak, suaraku kalah oleh ributnya suara hujan yang mendra atap rumah. Berisik sekali.

          Itulah salah satu alas an mengapa aku membencimu. Aku menyukai ketenangan dan aku tidak menyukai suara hujan yang berisik ini.

          'Aaahh...!" jeritku menggema di koridor.

          Aku bisa merasakan tanganku yang memegang kenop pintu kamar mandi bergetar hebat. Seluruh urat sarafku merinding melihat cacing yang menggeliat di lantai kamar mandi.

          Hujan terkutuk! Lihatlah perbuatanmu, membanjiri liang cacing malang ini, shingga dia berjuang menyelamatkan diri ke permukaan, tersesat di kamar mandiku.

          Sambil menahan jijik, kusambar gayung dan kusiram cacing itu hingga menghilang k dalam lubang saluran air.

          "Lama sekali kau mandi, tetap saja berdaki!" ujar Vira.

          Ia memang paling senang memulai perkelahian kata-kata denganku, tapi aku malas meladeninya.

          "Sudah. Annablle, kehabisan waktu!" ujar Ayah.

          Piring Ayah dan Elvira sudah kosong. Sementara itu dipiringku teronggok sepotong telur dadar hangus mahakarya Ayahku tercinta. Aku bergidik melihatnya.

          "Biar aku makan di kantin saja. Aku tidak mau terlambat ke sekolah," kataku mngelak.

          Untung Ayah mau mengantarkan kami ke sekolah sebelum beliau berangkat ke kantor barunya. Aku tidak rela membiarkan hujan membasahi badanku, karena tidak ada kau yang akan menghangatkan batinku.

          "Ayah, mengapa berhenti?" tanya Elvira.

           "Jalanan banjir, lvira, macet jadinya," jawab Ayahku.

          "Uhhh, bagaimana ini? Aku tidak ingin terlambat ke sekolah di hari pertamaku!" rengek Vira.

          "Bawel sekali kau," tukasku,"masih SMP saja..."ini gara-gara Kak Anna sih, pakai acara susah dibangunin, mandinya lama lagi,"kata Vira marah.

          Aku sudah bersiap membalas ucapan Vira dengan kata-kata pedas, namun Ayah keburu menyela.

          "Tolong, diamlah kalian, Ayah lelah mendengar pertengkaran kalian..."

          Suasana langsung senyap. Di luar, hujan menguping percakapan kami, riuh menertawakan kecanggungan di antara kami. Barangkali juga menyindirku bahwa diam-diam dalam hatinya Ayah juga menyalahkanku, seperti Elvira. Seperti semua orang lain.

          Tidaklah mereka mengerti binag keladi sesungguhnya? Perhatikanlah lekat-lekat, pada hujan yang menumpahkan buih-buih air ke bumi dan menumpahkan segala ksalahan yang diawalinya padaku.

          Aku akan menghadapi hujan terkutuk ini, hanya untuk kali ini, daripada terjebak di antara orang-orang yang selalu menimpahkan segala kesusahan padaku.

          "Sampai disini saja, Yah. Sekolahku di tikungan itu, aku bisa jalan kesana. Aku juga lelah mendengar rengekan gadis cengeng kesayangan Ayah!" semburku, meraih payung dan membuka pintu mobil.

          Bunyi klakson kendaraan meredam apapun yang dikatakan oleh Ayahku dan Elvina. Lagi-lagi suara hujan menjerit senang karena mengira aku menyerahkan diri.

          Enak saja, aku memiliki perisai payung hitam legam ini. Justru genanganmu lah yang kocar-kacir, muncrat, kabur kemana-mana menghindar dari injakan sepatuku yang bergesper kras. Kau pun menggerutu kecewa, lambat laun kehilangan minat, namun masih urung berhenti.

          Bruuuk... begitu asiknya aku menertawakan kekalahanmu sampai tak kuperhatikan arah langkahku dan kutubruk sosok yang tengah berjalan di trotoar.

          "Eh, maaf?"      

          Orang yang kutabrak ini memakai seragam SMA yang sama seprtiku. Usianya tidak lebih dari stahun di atasku atau mungkin malah sebaya denganku. Ia hanya menanggapi permintaan maafku dengan seulas snyum. Bukan hanya bibirnya yang tersenyum, matanya berkilat ikut tersenyum, mata berwarna kelabu seperti gadis Jepang di sebuah buku yang pernah kubaca.

          Matanya bergerak, seiring langkahnya yang bergerak lagi, menembus tirai hujan rintik-rintik, tanpa apapun untuk sekedar menahan rintik yang membasahi tubuhnya.

          Lihatlah,

          Bagaimana bisa ia berjalan tenang menembus hujan yang menertawakan ketololannya?

          Aku masih di tempatku, mata kelabunya laksana sebidang cermin yang memantulkan baying-bayang pudar. Bayangnya pun memudar dan akhirnya aku benar-benar kehilangan dirinya. Entah berapa lama aku terpaku di tempat, sampai aku sadar tujuanku ada di balik tikungan itu.

          Mataku mencari mata kelabu itu di setiap sudut gedung sekolah tua ini. Pastilah dia berada di sisi lain gedung ini, di sudut paling sakral untuk memuja keangkuhan hujan, tempat dia bisa mengulurkan tangan meraih percikan rintik sang hujan. Aku sebaiknya, memilih bersembunyi dari hujan di tmpat ini. Nyaman, kering dan hangat, seperti yang selalu kurasa saat kau tersenyum lebar padaku, menghipnotis urat-urat senyumku bekerja. Sayang kau tak jua kembali meski kulihat hujan telah lelah. Biarlah, walaupun mungkin hujan hanya berpura-pura lalu menyerangku di titik kelengahan denga tiba-tiba, kuseret rasa lemahku  mencari sepotong bayangnya.

          Akhirnya setelah menyibak lekuk-lekuk tempat pemujaan hujan, aku menemukan sosoknya. Ia berdiri bebas, dagunya terangkat dengan beberapa untai rambut basah menjuntai menutupi matanya yang tajam.