Anehku, Anehmu Dan Anehnya

By Astri Soeparyono, Kamis, 4 Agustus 2011 | 16:00 WIB
Anehku, Anehmu Dan Anehnya (Astri Soeparyono)

         Aneh yang menyenangkan itu memang tanpa batas. Terlalu menyimpang dari jauh.

         Aneh yang melegakkan . versi lain, sekitar delapan tahun yang ibu rasakan. Kalau kau menyebut ini lama, hmm, tidak juga. Terkadang, delapan  tahunmu bisa terasa bgitu cepat bila dibandingkan satu tahun pertama yang sulit. Bisa, karena biasa.

         Memori di pikiranku mengingatkanku akan peristiwa ini, ketika aku menikmati secangkir susu  yang ibu beri marshmallow di piring cangkir susu cokelatku. Delapan tahun yang lau umurku masih delapan, enam belas dikurang delapan tahun yang lalu, teori dari piikranku terus mengulang kata delapan.

         Sambil menikmati minuman favorit bikinan Ibu, aku mempeerhatikannya. Ibu, maksudku. Tidak seperti biasa, hari ini ia lebih sering memondar-mandirkan kakinya daripada memondar-mandirkan setrikaan. Tugas seorang ibu, begitu yang kutahu. Tidak, dia hanya terus melangkah lebar, dari meja makan, kembali ke dapur lalu menuju meja makan lagi tanpa jeda.

         Aku masih belum cukup mengerti untuk mengetahui apa yang ibu nantikan. Ibu terus-terusan memandangi jam dinding. Bahasa tubuh untuk 'menanti', bukan?

         Kulihat bekas-bekas susu masih berbekas di sekitar bibirku. Sekedar kamu tahu saja, aku bisa melihat bibirku sendiri lho! Maksudku, aku bisa melihatnya tanpa bantuan apapun, semisal cermin. Aku hanya perlu menundukkan kepala dan melihat apa yang teerjadi.

         Ya sudahlah. Lain kali aku akan belajar melihat telinga dengan mataku sendiri - tanpa bantuan apapun.

         Bekas-bekas susu yang menumpuk ini secara tidak langsung memberitahuku bahwa susu cokelatku sudah habis. Paling tidak HAMPIR habis. Akhirnya aku memutuskan untuk...

         "Ibu, susunya habis."

         "Sebentar ya nak, sebentar lagi."

         "Ada apa sih, Bu?"

         "Ayahmu nak, ini soal Ayahmu..."