Tawa kami yang bermunculan seketika lenyap, digantikan oleh suara berat Farrel yang seakan mengubah duniaku hari ini-dunia SMA dengan masa-masa bahagia yang indah.
"Iya, aku gay."
Mataku membulat lebar, mulutku menganga, sesuatu yang tidak mungkin aku lakukan sepanjang hidupku, kalau aku tidak benar-benar berada dalam situasi yang menyulitkan seperti ini.
Sangat menyulitkan.
"Maaf," katanya plan. Matanya menatapku intens, mencari jawaban dari binary mata yang mendadak memudar dari bola mataku. Haruskah aku mendengar smua alasan yang ia berikan?
Aku menggeleng, bukan menolak permintaan maafnya, melainkan munutupi rasa kalut yang mendadak menyergapku. Kalau ia gay, berarti aku menyukai seorang cowok yang mencintai cowok lain. Mencintai cowok.
Tiba-tiba, ada suatu perasaan aneh muncul dari dalam diriku, membuatku tidak tahan untuk tidak menangis. Aku bergeming, menatap sebagian dirinya dengan pandangan kosong dan hampa yang hampir-hampir seperti mayat hidup.
Ini tidak layak aku terima, batinku menyangkal kencang.
"Kenapa kamu nangis, Le?" tanyanya, dalam dan masih selembut dulu. Atau memang aku yang bodoh tidak menyadari bahwa ia memang terlalu lembut untuk ukuran seorang cowok?
"Maafin aku, Leah. Aku tahu ini bikin kamu kaget," ujarnya dalam satu tarikan napas. "Aku juga susah buat jujur sama kamu, tapi kamu selalu jadi bagian penting dalam hidupku, dan aku enggak mampu lagi berbohong untuk hal sebesar ini."
"Seharusnya kamu enggak usah berbohong sama aku, Rel," jawabku tajam. Farrel terkesiap kaget mendengar nada suaraku yang sarkastik. "Aku yang bodoh, yang enggak pernah peka sama keadaan sekeliling aku."
"Bukan kamu, Le-" Farrel membantah dengan cepat, otomatis menarikku ke dalam pelukannya yang hangat dan aman-aku selalu merasa aman berada dalam pelukan itu.