"Dengar aku, Leah Prastisa, kamu adalah sesuatu yang penting dalam hidup aku, jauh lebih penting dari cowok mana pun yang aku sukai."
Bisa kurasakan, dadaku merenggang sakit mendengar pernyataan itu.
"Tetapi, aku juga enggak bisa mengenyahkan perasaan aneh ini. Aku sendiri merasa jijik dengan diriku, namun tidak berdaya melepaskannya. Kamu ngerti kan rasanya, mencintai di tempat yang bukan seharusnya," lanjutnya. Bisikannya lembut, menyapu tulang leherku.
"Ak-aku enggak tahu bagaimana harus bersikap Rel," jawabku jujur, tidak ingin melepaskan pelukannya yang terasa begitu intens dan dalam, walaupun di sisi lain aku tahu ia tidak akan pernah tertarik denganku.
"Nangis, Leah. Nangis sepuas kamu, pukul aku sepuas kamu, sampai kamu yakin kita masih bisa temenan seperti dulu."
Aku menarik diri dari pelukan Farrel, menatapnya lama lewat mata yang setengah basah karena menahan tangis.
Farrel, sang teman lama yang selalu bersedia menjadi teman sekaligus kakak di waktu bersamaan. Farrel, sang cowok yang terkadang sulit dimintai tolong, namun saat memberikan pertolongan terasa begitu mendalam dan sulit untuk dilupakan. Farrel yang benci dengan terang, tidak pernah berhenti berbicara atau mengejekku.
Farrel-ku telah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang tidak aku ketahui.
Lagi, aku menarik napas, menahan segala sakit yang membludak namun tidak ingin aku keluarkan sekarang. Farrel akan tambah merasa bersalah seandainya aku menangis kencang dan memukulnya, karena tidak percaya dengan kata-kata yang barusan ia ucapkan.
"Jadi, ini alasan kamu beberapa hari ini tidak masuk sekolah?" tanyaku langsung, menatap matanya bahkan tidak melepaskan sedikit pun mataku dari matanya.
Farrel membuang mukanya, berpura-pura cuek, "Aku butuh ngobrol banyak dengan De-err, cowok ini."
Kriet-rasa sakit itu terasa lagi, kini lebih tertusuk ke dalam.