Puisi Mengenang Yuyun, Siswi SMP Bengkulu yang Meninggal Setelah Diperkosa 14 Cowok

By Astri Soeparyono, Selasa, 3 Mei 2016 | 08:59 WIB
Apa pendapat kamu soal kejadian ini, girls? (Astri Soeparyono)

Berita kematian Yuyun (14), siswi SMP Bengkulu yang meninggal setelah diperkosa 14 cowok, mungkin terlambat diberitakan di berbagai media besar. Tapi berkat beberapa orang aktivis yang sangat peduli sama hak asasi dan kesetaraan gender, beritanya mulai menyebar. Orang mulai peduli dan ingin mengikuti kasusnya. Ada berbagai reaksi netizen mengenai kasus ini. Dari yang kaget, marah, sedih, sampai mengutuk. Dari berbagai reaksi itu, ada juga puisi yang dibuat penulis buku, Ayu Utami, mengenang Yuyun.

(Baca juga: 7 Buku Puisi Indonesia Yang Wajib Kita Baca)

" >

Jika empat belas remaja bergerombol memperkosa satu anak dara,

kita tidak bisa berkata:

“selalu ada psikopat di antara kita.”

Jika empat anak tanggung berkawanan membungkam gadis yang sendiri,

kita tidak bisa berkata:

“wanita harus bisa jaga diri.”

Jika sekumpulan lelaki merajam satu dua tiga perempuan,

kita tidak bisa berkata:

“tegakkan moral dan agama.”

Kita tak bisa lagi mengandalkan hanya hukum

yang memenjarakan; si pelaku maupun korban

Kita tak bisa lagi bicara tegakkan ini tegakkan itu

Persis sebab “tegakkan” adalah bahasa jejantan

Bahasa kekerasan

Bahasa yang motifnya kekuasaan

Kita telah terjebak di dalamnya

Kita ajar anak-anak itu jadi pangeran

dan mainannya bukan hanya layang-layang

tapi juga dayang-dayang

yang boleh diterbangkan, diputus, dikoyakkan

sebab mereka hanyalah kepunyaan

(Selama lelaki dididik melihat perempuan sebagai kepunyaan, selama itu ia berhasrat menguasai)

Bahasa kekerasan, kita telah terjebak di dalamnya

Yang kita butuhkan adalah bahasa lain

Jika bukan bahasa cinta, maka bahasa keberanian

untuk menatap yang paling gelap dan menghadapi

Sebab di dalam yang gelap

kita menyentuh, meraba

kita tak tergesa-gesa

kita belajar menyadari

yang tak terpandang

kita tidak memiliki

tidak mengobyektivikasi

(Selama lelaki dididik melihat perempuan sebagai obyek, selama itu ia mengembangkan bakat memperkosa)

Setelah hari ini seorang anak diperkosa dan dibunuh,

apa yang kita lakukan sesudah menangis (dan mengutuk)?

Kita harus mengubah dunia

Dan mengajar anak-anak kita

Sekalipun layang-layang adalah mainan,

angin boleh menerbangkannya.

Meski seruling hanyalah sebatang bambu mati,

angin membuatnya bernyanyi.

Angin—bahkan angin, anakku—adalah individu.

(Jika lelaki dididik untuk melihat perempuan sebagai subyek, individu; ia punya hati dan harga diri untuk tidak memaksa)

Jika ada empat belas remaja memperkosa gadis yang sendirian,

Jika ada segala lelaki merajam segala perempuan yang tidak sendirian,

itu tanda kita telah terjebak

bahasa kekerasan

yang hanya tahu menaklukkan,

dan terus melahirkan kekerasan

Kita harus mulai dari awal

Jika bukan dengan bahasa perempuan, maka bahasa cinta

(yang menghapus segala obyektivikasi)

Yang menghapus segala pemujaan terhadap kekuasaan

Bukan lantaran anti

Tetapi agar bahasa jejantan jangan dipakai

kecuali dalam perkara paling mesra dan sunyi.

2 Mei 2016

Klik di sini untuk membaca tulisan Ayu Utami yang lainnya.

" >

(Baca juga: 7 Tips Agar Bisa Menulis Puisi Yang Indah)