Ketika berbicara tentang keluarga, seharusnya yang merasuk ke hati kita adalah perasaan hangat. Aman. Tenang. Sebab keluarga adalah tempat kembali yang pasti, pelabuhan yang abadi dari segala kesibukan yang kita jalani.
Tapi apa jadinya kalau keluarga, rumah yang setiap harinya kita tinggali, justru yang menimbulkan luka terdalam pada diri kita? Mungkin inilah yang dialami oleh D, cewek 18 tahun yang telah membagikan kisahnya pada cewekbanget.id.
Yuk, kita simak curhat seorang cewek yang mengalami kekerasan fisik oleh orangtuanya sampai harus ke psikiater.
Baca juga: Curhat Blogger yang Pernah Mengalami Kekerasan oleh Pacarnya
“Walaupun memang ada beberapa kasus yang bisa dijadikan pengecualian, aku tahu kalau hampir semua orangtua pasti menyayangi anaknya. Begitu pun dengan orangtuaku, aku bisa merasakan kalau mereka mengasihiku.
Lalu kenapa mereka sampai tega memukuliku? Ceritanya panjang dan aku tahu penyebabnya bukan karena satu faktor saja.
Sekarang aku sudah bisa melihat segalanya dari sisi yang objektif, jadi aku enggak mau dengan ceritaku ini, orang lain jadi menghujat orangtuaku dan membenci mereka.
Waktu aku kecil, aku sering memandang rendah diriku sendiri. Aku merasa bodoh, enggak punya bakat apa-apa, enggak cantik, pokoknya enggak bisa dibanggakan oleh orangtua seperti teman-temanku yang lain.
Setiap pertemuan keluarga, tante dan omku selalu membangga-banggakan anak mereka. Anak mereka yang pintar, yang menang banyak penghargaan, yang aktif ikut berbagai lomba, dan banyak lagi.
Ketika momen itu berlangsung, aku menatap mata kedua orangtuaku. Mereka hanya bisa tersenyum hambar dan menelan semuanya dengan pasrah, tidak bisa merespon balik karena memang aku bukan anak yang berprestasi seperti sepupu-sepupuku itu.
Sifatku yang pendiam dan pemalu menambah runyam masalah ini. Aku enggak pernah berani untuk menyampaikan ide-ideku di depan kelas, apalagi ikut lomba ini itu. Memikirkannya saja aku udah pusing.
Itulah awal penyebab orangtuaku sering memarahiku. Awalnya melalui kata-kata. Mereka sering mengataiku bodoh, anak enggak berguna, dan beragam umpatan lainnya. Saat itu, aku menerimanya. Aku pikir, ya memang aku anak yang enggak bisa melakukan apa-apa.
Sampai suatu kali, saat mamaku tahu kalau aku mendapat nilai jelek, ia memukulku. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Sambil memukul, mama terus memarahiku. Ia bertanya kenapa aku sampai dapat nilai jelek, ia menyebutku anak bodoh yang selalu bermain dan enggak pernah belajar.
Aku hanya bisa menangis sebab pukulan itu begitu sakit apalagi karena itu berasal dari orangtuaku sendiri. Begitu juga dengan ayahku, ketika aku melakukan kesalahan di rumah, misalnya menumpahkan sayur dari mangkuk yang kupegang, ayahku langsung menatapku dengan pandangan marah dan menendang kakiku.
Katanya, aku enggak bisa melakukan apapun dengan benar. Lagi-lagi aku hanya bisa masuk kamar dan menangis.
Hal ini aku alami selama bertahun-tahun, sejak aku kecil (TK) sampai aku remaja (SMP). Setiap kali aku mengecewakan mereka dan tidak memenuhi harapan yang mereka punya, aku selalu mengalami kekerasan fisik.
Bukan cuma fisik sebenarnya, soalnya sambil memukuliku, mereka juga sambil meneriakkan kata-kata makian terhadapku.”
(Baca juga: Curhat Cewek yang Dibully karena Berkulit Gelap)
“Selama bertahun-tahun aku terima perlakuan mereka itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Di satu sisi, aku memang merasa sakit dan terpukul. Tapi di sisi lain, aku juga sangat menyayangi mereka dan tidak mau ada yang menghakimi mereka.
Bagaimanapun mereka orangtuaku, keluargaku. Tapi, tanpa aku sadari dampak perbuatan mereka terhadapku begitu terasa. Puncaknya saat aku kelas 2 SMP. Saat itu, aku mengalami insomnia yang cukup parah.
Aku enggak bisa tidur. Aku seperti khawatir sama banyak hal. Aku takut mendapat nilai jelek. Aku takut mama marah. Aku takut enggak bisa jadi anak yang berprestasi. Aku takut bikin malu papa. Aku cemas kalau suatu saat aku enggak bisa menjalankan perintah orangtuaku dengan benar. Aku takut mendengar cacian mereka lagi. Semuanya bercampur aduk dalam pikiranku dan membuatku betul-betul depresi.
Suatu ketika, aku jatuh tertidur di kelas. Kemudian aku dibangunkan oleh guruku dan disuruh menghadap ke ruang guru. Aku bingung, kenapa aku sampai dipanggil? Ah, kalau setelah ini guruku akan memanggil orangtuaku, habislah aku.
Aku melangkah dengan gemetar ke ruangan wali kelasku itu. Namun, apa yang dia katakan saat itu sangat di luar dugaanku. Ia bertanya soal keadaan di rumah.
Ketika pertanyaan itu keluar dari mulut guruku, aku hanya bisa terdiam. Rasanya waktu seperti berhenti bergerak. Kalau aku punya kekuatan untuk menghilang, aku akan menggunakannya saat itu juga. Tapi, beliau membujukku untuk bercerita.
Ternyata, tanpa aku sadari, waktu aku tidur aku berteriak minta ampun sama mama dan papa. Aku juga berteriak kesakitan. Karena itulah beliau bertanya soal keadaan di rumah.
Aku dilema. Selama bertahun-tahun aku enggak pernah menceritakan hal ini ke siapapun. Bahkan enggak ke sahabat-sahabatku sekalipun. Buatku, sulit sekali untuk jujur tentang masalah ini ke orang lain karena ini enggak cuma menyangkut hidupku, tapi juga hidup orangtuaku.
Namun, pertanyaan dari guruku saat itu menyambar kesadaranku. Bahwa aku harus bercerita. Mau sampai kapan aku memendam ini sendirian? Tapi saat itu aku hanya bisa menjawab pertanyaan guruku dengan isakan air mata.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk bercerita pada guruku. Meskipun seringkali aku harus berhenti dulu karena tak kuasa menahan air mata. Ya, memang aku sering menangis diam-diam saat di sekolah. Di toilet, bahkan saat lagi di kelas. Pikiranku juga sering kosong, aku bahkan enggak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan saat itu.
Perasaanku jadi sangat sensitif. Aku bisa menangis hanya karena hal-hal kecil. Melihat anak yang sedang dimarahi orangtuanya saat di jalan saja misalnya, bisa membuat air mataku tumpah. Bahkan, mendengar kata “orangtua” saja sudah cukup membuat mataku berkaca-kaca.
Mungkin orang lain menganggapku berlebihan, tapi itulah yang aku alami saat itu. I felt so lost. Yang aku tahu dengan pasti cuma satu, aku enggak pengin pulang ke rumah. Aku takut menghadapi orangtuaku.
Beberapa waktu setelah aku mengaku kepada guruku, tanpa sepengetahuanku, ternyata guruku menghubungi orangtuaku. Yang ia tekankan pada mereka adalah bahwa aku terlihat sangat diam dan depresi di sekolah.
Aku kira setelah tahu dari guruku, orangtuaku akan mengamuk lagi. Tapi ternyata enggak, mereka melihatku dengan tatapan sedih. Dan atas anjuran guruku, akhirnya membawaku untuk berkonsultasi kepada seorang psikolog.
Setelah beberapa kali konsultasi, psikolog tersebut merekomendasikan seorang psikiater kepadaku. Karena aku mengidap kecemasan yang berlebihan dan sulit tidur, maka menurutnya aku membutuhkan terapi obat selain konsultasi.
Psikolog itu juga menjelaskan cerita dari versi orangtuaku. Ternyata, orangtuaku juga korban kekerasan. Sama sepertiku, mereka juga sewaktu kecil seringkali dipukul oleh orangtua mereka ketika melakukan kesalahan.
Itulah sebabnya, hal buruk itu tertanam di alam bawah sadar mereka dan menjadi kebiasaan yang secara impulsif dilakukan ketika mereka marah.”
Menurut Elizabeth Gershoff, psikolog dari The University of Texas yang mempelajari tentang parenting dan perkembangan anak, mengatakan bahwa bila seorang anak sering mengalami kekerasan fisik di masa kecilnya, maka saat dewasa nanti, kecenderungannya untuk bersikap kasar atau menjadi anti-sosial sangat besar.
Ini menjelaskan fenomena yang dialami oleh D dan orangtuanya tadi. Orangtuanya yang ternyata pernah mengalami kekerasan saat mereka kecil dulu, mengulangi perbuatan yang sama pada anaknya di kemudian hari.
Efek repeating ini terjadi karena di alam bawah sadar mereka sudah terbentuk pemikiran bahwa cara untuk menangani perasaan marah dan kecewa adalah dengan memukul.
Hal ini juga diamini oleh psikolog anak dan remaja Ratih Zulhaqqi, M.Psi. Ia berkata bahwa seorang anak yang mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis bisa menjadi anak yang selalu cemas, merasa tidak aman, tidak nyaman, tidak percaya diri dan tidak bisa memposisikan dirinya dengan tepat.
Jangan diam. Sikap diam kita tidak akan menghasilkan apa-apa, justru akan membuat masalah semakin runyam. Kita bisa menceritakannya kepada orang yang bisa bersikap objektif dan kita percayai, seperti D yang bercerita pada gurunya.
Kita juga bisa melaporkan hal ini kepada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dengan nomor telepon 021-31901556. Ceritakan kepada mereka secara lengkap dan jelas mengenai masalah yang kita alami, sehingga kita bisa mendapat bantuan.