Di Balik Viralnya Berita Hoax, Kenapa Informasi Salah Ini Bisa Menyebar Cepat?

By Ifnur Hikmah, Minggu, 27 Agustus 2017 | 03:15 WIB
Jangan Sampai Kita Jadi Korban atau Pelaku Penyebar Berita Hoax (Ifnur Hikmah)

Grup Saracen, mungkin kita akrab dengan nama ini karena sedang menjadi sorotan. Grup ini baru saja ditangkap oleh polisi karena terbukti menyebarkan berita hoax di media sosial. Malah, grup ini sudah terorganisir dengan rapi, bahkan menawarkan jasa untuk menyebarkan berita hoax yang bertujuan merusak citra seseorang atau sekelompok orang tertentu.

Ini bukan pertama kalinya polisi menangkap pelaku penyebar berita hoax. Di sepanjang 2017 saja, beberapa nama sempat harus berurusan dengan polisi terkait hal tersebut. Bukan saja di Indonesia, terhitung hingga Februari 2017, Kepolisian Sarawak, Malaysia, sudah menangkap sepuluh pelaku penyebar berita hoax. Di negara lain pun juga banyak beredar berita hoax yang kebenarannya dipertanyakan tapi sayangnya bisa dengan mudah dipercayai orang lain.

Berbeda dengan grup Saracen, pelaku lebih banyak di tingkat pribadi. Tujuan mereka menyebarkan berita hoax pun beragam. Ada yang sebenarnya tidak begitu paham atau hanya mendengar ucapan selintas lalu menyebarkan informasi salah. Ada juga yang demi kepentingan ekonomi.

Sebagai contoh, berikut beberapa kasus penyebar berita hoax yang sampai ke tangan polisi.

(Lihat di sini kenapa kita bisa jadi korban berita hoax)

Berita hoax enggak bisa dianggap sepele karena dampak yang dihasilkan sangat besar. Sebuah informasi yang salah bisa menimbulkan keresahan. Misalnya berita soal kasus penculikan anak. Tentu saja masyarakat jadi tidak tenang karena tahu di lokasi tempat tinggalnya ada orang jahat yang mengincar anak mereka.

Berita hoax juga bisa menimbulkan keresahan jika yang disebarkan adalah informasi bernada kebencian. Seperti yang dilakukan Grup Saracen, salah satunya adalah bertujuan untuk merusak citra diri seseorang. Berita yang salah ini bisa menggiring opini publik untuk membenci seseorang atau pihak tertentu.

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada ketentuan hukum yang mengatur soal berita hoax. Seorang pelaku bisa terancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hukumannya enggak tanggung-tanggung, bisa diancam kurungan penjara enam tahun atau denda Rp 1 miliar.

Seperti dikutip dari Liputan6.com, Kapolri Jendral Tito Karnavian mengimbau agar kita semakin berhati-hati, jangan sampai menjadi korban berita hoax atau malah jadi salah satu yang menyebarkan berita tersebut. Mungkin kita bermaksud baik ingin sharing sebuah informasi, tapi pastikan untuk memeriksa kebenaran info tersebut sebelum membaginya. Karena bisa saja berita yang kita terima adalah salah, sehingga tanpa disadari kita menjadi salah satu penyebar konten hoax.

“Kita mengimbau kepada masyarakat agar tidak dengan membabi buta (merespon hoax) dan mencerna apa saja yang ada di media sosial. Kalau ada informasi yang dicurigai, negatif, provokatif, agar melakukan kroscek,” ujar beliau. Enggak hanya itu, pemerintah juga membentuk badan khusus untuk menangani masalah ini, yaitu Badan Cyber Nasional.

Media sosial memang membuat sebuah informasi jadi menyebar dengan cepat, termasuk berita hoax. Namun, sejak dulu berita hoax juga sudah ada, dan bisa diterima orang banyak tanpa perantara media sosial.

“Orang-orang cenderung akan berkata seperti ini, ‘Ya, mengingat banyaknya media sosial yang kita gunakan sekarang, hal seperti ini bisa menyebar dengan cepat dan memberikan dampak yang jauh lebih besar ketimbang sebelumnya. Namun kenyataannya lebih dari itu. Kita tentu masih ingat ketika media massa di seluruh dunia memberitakan soal Iraq yang memiliki senjata pemusnah masal. Itu jauh sebelum ada Facebook dan Twitter,” jelas Adam Waytz, seorang peneliti dari Kellogg School, seperti dikutip dari Kellogg.northwestern.edu.

Masih Menurut Waytz, berita hoax bisa diterima berkaitan dengan kepercayaan yang kita miliki. Sebagai contoh, kita percaya kalau Taylor Swift itu ‘snake’ sehingga yang kita konsumsi adalah berita negatif soal Taylor Swift. Bisa saja yang kita percayai adalah berita hoax, tapi kita tidak memedulikannya karena berita hoax tersebut mendukung perasaan tidak suka kita kepada TayTay. “Seringkali, alasan yang dipakai untuk mendukung sesuatu membawa kita kepada pemahaman yang salah,” jelas Waytz.

Untuk lebih jelasnya, ada beberapa penyebab kenapa berita hoax ini bisa menyebar dengan cepat dan luas, serta diterima oleh banyak orang.

Setiap harinya, kemungkinan kita terpapar berita hoax sangat besar. Bisa dari media massa, media sosial, social chat seperti WhatsApp, atau bahkan secara langsung dari keluarga atau teman. Jika berita tersebut menyentuh atau sesuai dengan sesuatu yang kita perjuangkan, besar kemungkinan kita akan menyebarluaskannya.

Karena itu, kita harus lebih berhati-hati. Selain karena ada ancaman hukum, penting diingat kalau berita yang disebarkan bisa memengaruhi hidup orang lain. Bisa dibayangkan betapa besar kerugian yang ditimbulkan jika kita menyebarkan berita salah, disengaja ataupun tidak.

Pertama-tama, kita harus mengecek apakah berita yang diterima itu benar atau tidak. Memang, sih, akan memakan waktu, tapi hal ini bisa menghindarkan kita dari kerugian lebih besar. Ketika mengecek kebenaran suatu berita, kita bisa melakukan hal berikut:

Selain itu, jangan langsung terpancing emosi. Kita mungkin sedih atau marah ketika mendengar penculik anak berkeliaran dan ada dorongan untuk menyebarluaskannya. Penting diingat bahwa berita itu belum tentu benar dan perlu dicek lagi, sekalipun semua orang di sekitar kita percaya kalau berita itu benar.

Tidak menelan mentah-mentah sebuah informasi bisa menghindarkan kita dari berita hoax. Untuk tahu lebih banyak soal berita hoax, bisa cek di sini.

Sekarang, sudah saatnya untuk jadi lebih kritis nih, girls. Jangan sampai diri kita menanggung kerugian atau menyebarkan keresahan di hidup orang lain, hanya karena kita tidak meluangkan waktu untuk mengecek kebenaran sebuah berita.