Kampanye CELUP dianggap melanggar etika karena berlandaskan pada dasar hukum yang salah. Begitupun dengan kritik yang terus meluncur deras karena aksi ini dinilai tidak menghargau privasi orang lain.
Koordinator CELUP juga mengatakan kritik yang terus berdatangan tersebut enggak lain datang pasca diterbitkannya artikel oleh media Plasticdeath yang pertama kali menyebarkan informasi soal CELUP.
Detha Prastyphylia dan Bagoes Carlvito sebagai penulis mengatakan bahwa apa yang dilakukan CELUP bermasalah karena melanggar Pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Enggak hanya itu, Detha dan Bagoes juga mengatakan bahwa aksi CELUP melanggar UU Pornografi Pasall 4 ayat (1) di mana seseorang dilarang untuk membuat dan menyebarluaskan konten pornografi.
Ironisnya, ketika aksi ini bertujuan supaya tidak terjadi pelanggaran norma susila yang berlaku di masyarakat, namun pada prosesnya mereka malah melanggar etika.
Belum berhenti di kritik dan kecaman yang datang bertubi-tubi, serta menjadi perbincangan viral di jejaring media sosial, CELUP juga menemui masalah berikutnya.
Kali ini datang dari klarifikasi sejumlah institusi dalam promo aksi tersebut.
Logo institusi seperti Detik.com, Jawa Pos, C2O Library & Collaborative, Aiola Eatery, hingga Humas Pemerintah Kota Surabaya, memang tercatut dalam banner dan selebaran promo kampanye CELUP.
Namun kelima institusi tersebut dengan tegas menolak keterlibatan mereka dengan kampanye CELUP dan mengatakan bahwa pencatutan logo institusi mereka dilakukan tanpa izin.
Kampanye CELUP ternyata bermula dari tugas kuliah untuk mahasiswa DKV bulan Agustus kemarin. Dosen akan menilai bagaimana kampanye tersebut dapat diimplentasi serta desain yang mereka kerjakan.