Lepas dari kasus video viral pelabrakan Shafa kepada Jennifer Dunn, kita dihebohkan kembali dengan sebuah video yang memperlihatkan seorang perempuan yang dilempari berlembar-lembar uang oleh perempuan lain yang memarahinya.
Perempuan yang memegang kamera dan disebut ‘Bu Dendy’ itu tak tampak dalam layar, menuduh perempuan berjilbab yang duduk di sofa telah menerima uang dari lelaki yang diduga suaminya.
Video yang menjadi viral ini mengundang perhatian netizen hingga enggak sedikit yang menjadikannya lelucon. Tapi ada satu hal yang timpang dalam kasus ini.
Dalam videonya, Bu Dendy menyebut perempuan yang menjadi sasaran kemarahannya sebagai ‘pelakor’ yang merupakan kependekan dari ‘perebut laki orang’.
Beberapa netizen mengkritisi hal ini dan menganggap bahwa sebutan tersebut adalah sebuah istilah yang sebenarnya merendahkan perempuan.
Dilansir dari BBC.com, Komisioner Komnas Perempuan, Budhi Wahyuni menyatakan bahwa penggunaan media sosial memudahkan seseorang untuk merekam, mengekspresikan, membalas, dan meluapkan emosinya.
“Perempuan yang bisa jadi awalnya berpikir soal risiko, ‘malu’ atau ‘apa sih keuntunganku’, ini jadi terfasilitasi. Kemudian perempuan yang dianggap pasangan sah menjadi lebih pemberani, tapi siapa yang dibela?
Yang dibela adalah perilaku yang tidak benar, dalam hal ini adalah sosok laki-laki itu sendiri.”
Padahal kalau kita cermati, selingkuh hanya bisa dilakukan oleh dua pihak yang aktif terlibat. Bukan hanya si selingkuhan, tapi juga pasangannya, dalam hal ini bisa jadi pacar atau suami.
Sementara ada istilah ‘pelakor’ tapi kita sama sekali enggak pernah mendengar istilah serupa buat lelaki yang selingkuh.
Di sinilah letak ketimpangan tersebut, ketika dengan mudahnya seseorang menyalahkan satu pihak saja dan menjadikan pihak ketiga tersebut sebagai kambing hitam.
Hal ini terlihat di video pelabrakan terhadap Jennifer Dunn dan perempuan yang dilempari uang. Bukan hanya dihakimi oleh istri sah pria yang berselingkuh, tapi juga oleh orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa dengan mereka.
Padahal, jika kita bersikap adil, kesalahan terletak di tangan dua orang, bukan hanya satu orang saja.
Banyak pendapat yang menyudutkan si perempuan selingkuhan sebagai pihak yang benar-benar salah. Karena dia yang menggoda atau merayu supaya diberi ‘uang saku’ sama si pihak lelaki.
Padahal bisa saja kan, kalau si lelakinyalah yang menggoda duluan atau malah mengaku single?
Katanya, lelaki itu ibarat seperti kucing yang kalau dilempar ikan asin, maka pasti bakal dia makan. Sekalipun enggak sedikit yang menolak dengan ungkapan tersebut, tapi sekali lagi, lelaki bukan seekor binatang. Lelaki adalah manusia yang tentunya bisa menentukan keputusannya sendiri.
Artinya dia bisa memutuskan mau selingkuh atau enggak, mau melirik perempuan lain atau enggak, dan seterusnya. Dia juga berperan aktif dalam kasus perselingkuhan, lho.
Saat seseorang selingkuh, maka pasangannya kerap dituduh enggak bisa memberi perhatian yang cukup, atau kurang merawat diri sehingga ‘wajar’ kalau mereka selingkuh.
Perasaan sedih, kecewa, dan merasa dikhianati itu akhirnya memicu dia buat menyalahkan orang lain. Sasaran utamanya tentu saja si perempuan yang menjadi selingkuhan.
Ini karena kita kerap menolak untuk menerima kesalahan orang terdekat kita. Jadilah si perempuan yang menjadi selingkuhan sebagai kambing hitamnya.
Budhi Wahyuni juga memaparkan bahwa istilah tertuduh perusak hubungan orang lain merupakan sebuah bentuk cerminan dari perspektif masyarakat akan stigma negatif dari perempuan sebagai penggoda, dengan istilah yang ‘dihaluskan’.
Istilah tersebut digunakan untuk memudahkan sesuatu yang sebetulnya stigma, tapi dianggap bukan stigma.
Sekalipun perselingkuhan adalah isu yang rumit, tapi kita enggak perlu harus serta merta mempermalukan atau menyalahkan perempuan yang dituduh sesuka hati, sehingga memaklumi kesalahan lelaki. Padahal dia sendirilah yang mengkhianati janji komitmennya untuk setia.
Perselingkuhan merupakan hal personal, dan sebagai publik, kita tidak berhak menghakimi sesuatu yang tidak kita ketahui dengan pasti kebenarannya.
Salah satu caranya, kita bisa berhenti menghakimi perempuan lain, atau sekadar berhenti menggunakan istilah pelakor, dan tidak menjadikan urusan pribadi ini sebagai bagian dari ranah publik.
(Baca juga: 8 Pujian yang Ternyata Merendahkan Cewek Tapi Kita Sering Enggak Sadar)