“Kemudian pernah juga kita berantem di kampus, tepatnya di jalan raya utama lingkungan dalam kampus. Saat itu cuma karena dia salah paham. Jadi aku dan temannya dia yang juniorku juga lagi tertawa bareng dan dia kira kita ngetawain dia. Terus dia ngamuk-ngamuk dan langsung nyuruh aku pulang sama dia naik motor.
Aku dan temannya dia itu langsung diam karena kita enggak mau sama-sama malu. Akhirnya aku naik motor dan di motor dia ngamuk-ngamuk sampai sepanjang jalan aku diliatin orang-orang, dan parahnya dia sampai mecahin kaca speedometer-nya dia pake tangan. Saat itu semua orang di jalan noleh ke aku.
Kemudian, saat organisasi kita lagi ada kunjungan ke Kementerian di Jakarta, di lingkungan Kementerian itu dia nyiksa aku sampai saat itu aku nangis. Aku dipukul, ditampar, diteriakin. Aku nangis bukan karena fisikku sakit, tapi karena aku enggak sanggup nanggung malu diliatin semua teman-teman organisasi aku.
Mereka mau nolongin pun tapi mereka enggak berani karena yang ada malah nanti jadinya mereka ikut kena juga. Dan aku sampe digituin cuma karena masalah sepele, karena dia enggak suka lihat aku bercanda bareng temen-temen organisasi aku.”
“Ketika aku magang di Jakarta, dan dia masih di kampus kuliah biasa. Ternyata dia nyelingkuhin aku udah 6 bulan, even teman-teman angkatanku, teman-teman kostanku, teman-teman organisasiku, teman-temannya dia tahu tapi cuma aku yang enggak tahu. Sakit banget sih. Dan saat semua orang mulai kasihan sama aku setelah 6 bulan itu, orang-orang mulai beberin bukti-bukti dia selingkuh ke aku.
Saat itu pas banget kampus lagi libur dan dia pulang ke Jakarta. Ketika aku tahu aku diselingkuhin dan aku mau mutusin dia (lagi), dia langsung datengin kostan aku nangis-nangis buaya, ngamuk-ngamuk di mobil sampai bersumpah kalau dia enggak selingkuh, kalau ternyata ceweknya yang gatel deketin dia.
Singkatnya aku enggak jadi putus karena aku dan dia meniatkan sama-sama berubah. Tapi ternyata tabiat memang susah diubah, dia nyelingkuhin aku lagi pas dia magang (saat itu aku udah kerja). Dan saat itu ketika dia selesai magang, dia balik lagi ke kampus dan aku cuti dari kantorku untuk nyamperin dia ke kampus dan ketika aku nyamperin ke kostannya AKU DIUSIR!
Di sana aku sampai diamukin lagi sama dia, dan parahnya aku didorong dia bahkan aku nyungsep ke kasurnya dia. Udah setelah itu aku diusir sama dia dari kostannya.”
“Dan setelahnya aku dbuang gitu saja sama dia. Sampai saat itu dia minta putus dan aku malah yang enggak mau diputusin (sebenarnya enggak mau diputusinnya lebih karena aku enggak terima aku dibuang gitu aja), sampai aku mohon-mohon ketemuan, aku telepon dia dan selalu di-reject, hingga pas telepon aku akhirnya diangkat dia bilang enggak putusin aku tapi pas telepon ditutup dia mutusin aku lagi gitu terus sampe aku nangis semaleman karena ngerasa dibuang banget.
Dia selalu ngebalikin kejadian seolah-olah dia adalah victim. Dia selalu bilang setiap ada masalah aku dan dia enggak pernah dibicarakan baik-baik padahal selalu aku yang berusaha ajak dia bicara, namun responnya pasti ‘udahlah kita udah lewatin itu pasti kita bisa lewatin lagi’.
Pada akhirnya setelah 2 tahun lebih dikit aku putus sama dia, aku yang putusin karena dia selingkuh dengan seniornya dia di tempat magang. Tapi aku ngerasa lega setelah putus, ngerasa aku punya kehidupan dan enggak terkungkung dalam perasaan takut atau malu.”
Dalam cinta enggak mengenal kata kekerasan. Mau siapapun orangnya, ketika ada tindakan kekerasan yang menyakiti, maka sama sekali enggak ada cinta di dalamnya.
Kasus yang dialami Dian ini, memberikan pelajaran pada kita bahwa ketika kita merasa sudah ada yang enggak beres dan sudah ada yang tersakiti, sebenarnya hal ini enggak bisa ditoleransi lagi.
Buat apa kita mau balikan sama cowok yang kasar sikap dan perkataannya, dan ketika itu dia enggak ada rasa bersalahnya sama sekali karena dia masih saja melakukan hal yang sama berulang kali.
Mungkin Dian ketika itu masih menunggu dan maish berharao kalau dia dan pacarnya bisa introspeksi diri dan saling berubah menjadi yang lebih baik. Tapi pada kenyataannya, ternyata omongan janji-janji itu palsu dan enggak bisa dipercaya sama sekali.
Ketika Dian masih mencoba untuk mengerti, jutru dia yang pada akhirnya diselingkuhin! Baiklah, yang lalu biarlah berlalu dan kita enggak bisa memutar waktu. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah selalu waspada, dan kita harus bisa dengan tegas menentukan batasan mana yang bisa dimaklumi mana yang enggak bisa.
Semoga kisah Dian ini bisa jadi pelajaran bagi kita, dan menyadarkan bahwa kalau cinta pasti enggak akan tersakiti.