Hasil riset tim peneliti dari Swedia membuahkan temuan tentang tonic immobility, yang mematahkan salah satu mitos perkosaan atau kekerasan seksual pada umumnya, bahwa sebuah kasus enggak dapat disebut sebagai perkosaan apabila korban enggak melawan saat diserang dan hubungan seksual terjadi.
Tonic immobility adalah gejala kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban perkosaan ketika mereka diserang pelaku, dan ditemukan oleh Dr. Anna Moller, salah satu peneliti yang terlibat dalam riset tersebut.
Dilansir dari LiveScience, kelumpuhan sementara yang dialami korban perkosaan tersebut merupakan reaksi defensif dari tubuh yang bersifat alami dan biasanya timbul di bawah ketakutan yang luar biasa.
Riset Moller dan tim peneliti juga menunjukkan bahwa kelumpuhan sementara ini mirip dengan kondisi katatonia atau keadaan ketika seseorang enggak bisa bergerak, berbicara, dan merespon apa pun yang diterima tubuhnya.
Kelumpuhan hingga Depresi
Tonic immobility atau kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban perkosaan berhubungan dengan aktivasi hormon tertentu, salah satunya corticostereoid yang mengambil peran besar dalam mereduksi energi yang mereka miliki.
Makanya, pada sebagian kasus, tubuh korban kaku sepenuhnya dan mereka enggak bisa melawan.
Selain kelumpuhan sementara, Moller dan tim juga menemukan potensi depresi akut hingga gangguan stres pascatrauma (post-trauma stress disorder; PTSD) yang lebih besar pada korban perkosaan yang mengalami tonic immobility dibanding mereka yang enggak mengalaminya.
Baca Juga: Awas, 6 Hal Ini Termasuk Aktivitas Kekerasan Berbasis Gender Online!
Source | : | livescience |
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Salsabila Putri Pertiwi |
KOMENTAR