CewekBanget.ID - Belum lama ini, lonjakan kasus positif COVID-19 di Indonesia membuat sejumlah pakar meminta tes GeNose, yang biasa digunakan di berbagai tempat transportasi sebagai bagian dari syarat perjalanan, dihentikan sementara.
Seorang pakar biomolekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo membuat cuitan di Twitter dan meminta tes GeNose sementara dihentikan operasinya, karena alat yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) ini dianggap belum memiliki bukti validasi.
Ahmad juga meminta verifikasi perjalanan dikembalikan ke tes standar baku seperti antigen atau PCR alih-alih meneruskan penggunaan GeNose.
Nah, tapi sebetulnya apa saja sih, yang membedakan GeNose, antigen, dan PCR sebagai tes untuk verifikasi status paparan COVID-19 seseorang?
Baca Juga: Ikuti 5 Hal Ini Selama Isolasi Mandiri Saat Positif COVID-19 di Rumah!
GeNose
Tes Gadjah Mada Electronic Nose (GeNose) dikembangkan oleh Prof. Dr. Eng. Kuwat Triyono, M.Si., dan dr. Dian Kesumapramudya Nurputra, M.Sc., Ph.D., Sp.A. dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, seperti dilansir dari situs Primaya Hospital.
GeNose bekerja dengan cara meniru kerja indera penciuman manusia dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) untuk membedakan pola senyawa yang terdeteksi melalui hembusan napas.
Jadi, tes ini diklaim dapat membedakan pola senyawa Volatile Organic Compound (VOC) dari pasien yang diduga terinfeksi SARS-CoV-2.
Tes GeNose telah dipakai di berbagai tempat, misalnya untuk cek verifikasi paparan COVID-19 sebelum melakukan perjalanan dan diketahui memiliki proses yang cepat, sederhana, serta murah.
Masalahnya, GeNose bisa jadi enggak akurat karena senyawa VOC juga dapat dihasilkan oleh kondisi infeksi dan keganasan.
Hasilnya pun dapat dipengaruhi asap rokok serta konsumsi makanan dan minuman beraroma menyengat.
Selain itu, hasil penelitian terkait GeNose sendiri sampai saat ini belum diterbitkan dan dijui secara luas.
Para ahli belakangan ini juga meminta agar penggunaan GeNose sebagai alat tes status COVID-19 dihentikan sementara akibat lonjakan kasus positif COVID-19 di Indonesia.
Antigen
Sebelum GeNose, rapid test antigen jadi salah satu syarat untuk memperoleh izin perjalanan, khususnya perjalanan keluar kota.
Tes antigen sendiri bekerja melalui sampel lendir dari dalam hidung atau tenggorokan dengan metode usap (swab).
Dibandingkan PCR, tes antigen tergolong cepat karena hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 10-15 menit saja.
Melansir Kompas.com, antigen memiliki sensitivitas maksimal 94% dan spesifisitas lebih dari 97%.
Tapi antigen juga memiliki risiko negatif palsu cukup tinggi apabila swab dilakukan 1-3 hari sebelum timbul gejala atau ketika gejala sudah timbul selama lebih dari 7 hari.
Harga untuk melakukan tes antigen biasanya berkisar antara Rp100.000,00 - Rp250.000,00.
Baca Juga: Kasus COVID-19 Pada Anak-anak Meningkat Drastis Khususnya di Jakarta
PCR
Terkait akurasi tes, hingga saat ini tes polymerase chain reaction (PCR) masih jadi andalan yang paling dianjurkan oleh WHO karena dapat mencari materi genetik dari virus.
Hanya saja, PCR masih belum jadi andalan untuk segera mendeteksi orang yang diduga terinfeksi virus corona karena prosesnya yang memakan waktu cukup lama, yaitu sekitar beberapa jam hingga satu hari hingga hasilnya keluar.
Selain itu, tes PCR hanya bisa dilakukan di laboratorium dengan kelengkapan khusus dan dibanderol dengan harga sekitar Rp900.000,00.
Tes PCR bekerja melalui sampel lendir dari hidung atau tenggorokan untuk mencari materi genetik dari virus corona.
Saking sensitifnya, tes PCR ini dapat menunjukkan hasil positif COVID-19 karena materi genetik virus masih terdapat pada pasien yang telah sembuh dan enggak menularkan virus sekalipun.
Tingkat akurasi PCR mendekati 100% dan angka negatif palsu dari PCR bervariasi, tergantung pada berapa lama seseorang terinfeksi.
(*)
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Salsabila Putri Pertiwi |
KOMENTAR