Seperti biasa, kamu tidak menjawabnya dengan kata. Kamu hanya tersenyum lalu mengacak rambutku.
Hujan masih belum berhenti sewaktu aku sampai di depan rumahmu. Pintu rumahmu terkunci. Untung aku selalu membawa kunci cadangan yang dulu pernah kamu berikan padaku. Dengan cepat aku memutar kunci dan mendorong pintu kayu itu perlahan. Rumahmu kosong. Tapi biarlah. Aku akan menunggu di sini. Toh hujan juga masih belum berhenti.
Dan sekarang aku terduduk di sini, di kursi ruang tamumu dengan hati yang semakin terasa tersayat. Kupikir aku akan bisa mengobati rinduku dengan datang ke sini. Tapi ternyata kerinduan ini semakin besar karena ruangan ini bau kamu.
Hujan di luar sudah berhenti. Aku melepas earphone yang sedari tadi menyumpal telingaku, bergegas berdiri dan melangkah ke teras. Kamu belum datang. Padahal pelangi sudah mulai muncul. Ah, aku benci seperti ini. Inginku, ada kamu yang menemaniku melihat pelangi. Apalagi sewaktu aku sangat merindukanmu seperti ini.
"Pelangi itu hadiah dari Tuhan untuk bumi. Waktu itu hujan turun; bumi menangis. Tuhan tidak ingin bumi menangis. Tuhan ingin bumi tersenyum. Makanya Dia ciptakan pelangi," katamu dulu.
(Baca juga: Di Ujung Pelangi Bagian 2)
(Oleh: Nina Rahardjo, foto: giphy.com, tumblr.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR