"ARGGGHHH!!!"
Rasanya aku hampir gila. Bayang-bayang wajahnya selalu mengeluarkan pisau yang membuat hatiku ini teriris pilu karena rasa rindu. Dirinya membangunkanku dari segala hal berbau kepenatan. Ia hadir dengan senyum terindah yang pernah ada. Aku rasanya sangat rela memberikan apa pun untuk dapat merasakan sensasi rasa yang seperti ini setiap detiknya. Meski perasaan ini memiliki kejelasan yang samar, tapi inilah yang membuatku merasa bahagia dan kembali bahagia setiap terbangun dari gelap.
"Mungkinkah aku jatuh cinta pada pandangan pertama?"
Rangkaian pertanyaan itu selalu berhasil membuat pikiranku hanyut ke dalam rasa permen asam manis. Aku sangat begitu menikmati momen ini. Aku merasa lebih dari cukup meski hanya menerima satu kali senyum yang memiliki semiotik sapa seperti beberapa saat lalu. Ya, aku merasa bahagia. Hidup rasanya menjadi lebih menyenangkan ketika selalu berhasil mengingat wajahnya. Meskipun aku tahu ini hanya dongeng yang aku khayalkan saja.
Ya, kuakui aku memang tidak mengenalnya. Aku hanya bertemu dengannya sekali dan itu pun tadi pagi. Namun, menikmati perasaan seperti ini seharian tidak mungkinkah bila aku memang sedang dilanda sakit cinta? Tapi, sekali lagi pikiran tentang kenyataan hadir mengalun pelan di relung sukmaku. Lalu aku pun akan menggeleng dan mulai merasa menderita bila mengetahui ini.
Aku sebenarnya merasakan hal ini dengan tidak sengaja. Aku tidak sadar bahwa perasaan penasaran dari diriku tumbuh begitu saja hanya dari sekali melihat wajahnya sekaligus senyumnya. Namun, aku terlanjur mengaguminya sekarang. Aku kagum dengan sosoknya. Sosoknya yang tampan dan gagah. Sosoknya yang sekilas diperhatikan membentuk kata kharisma yang menawan. Sosoknya yang tanpa celah hingga tak memerlukan diksi di setiap alur detil pencitraan tubuhnya. Ia mampu membuatku terpana hanya dengan kaos, jaket dan celana jeans yang ia kenakan. Rasanya ia memang sosok yang tercipta untuk dikagumi. Sosok yang membuatku gila hanya dalam sekali bertemu. Sosok yang teristimewa. Sudah seperti ini, haruskah ada pertanyaan lagi kalau diriku memang sedang jatuh cinta?
***
Tidak perlu banyak alasan untuk mengetahui bahwa ibuku sangat bingung ketika aku dengan cepat menggerakkan langkahku keluar rumah. Memang aku akui, semalam aku sudah sampai pada taraf yang cukup gila karena berhasil menghadirkannya dalam mimpiku. Untuk bagian ini aku akui bahwa ia sekarang dapat dikatakan spesial. Jujur.... pacarku yang lama saja tidak pernah jelas menampilkan dirinya di kehidupan malam gelapku.
Kini sebelum aku benar-benar gila, sebaiknya aku harus berjalan dengan cepat menuju halte Transjakarta. Tepat! Pasangan jarum di jam tanganku sudah menyatakan kemesraan mereka persis seperti kemarin aku naik bus dari halte Transjakarta. Namun, si angkutan andalan Jakarta itu tak kunjung datang. Tampaknya hari ini akan telat. Kalau saja bukan karena dia, kekesalan dan kemalasan menunggang Transjakarta akan kembali kualami seperti kemarin sebelum bertemu dengannya dan terhanyut dalam belai senyumnya yang manis.
Tidak lama, bus yang aku tunggu parkir di samping halte. Sama sesaknya seperti kemarin, namun hal inilah yang justru aku nantikan. Ini berarti aku akan sangat puas memandanginya seperti kemarin. Namun, kemanakah sosoknya? Sosok ini benar-benar menghilang dari pandanganku. Aku pun segera mencarinya ke ujung sayap sebelah kiri, hingga akhirnya aku menangkap sosok itu dalam sepasang retina mataku.
"AHHH... Tampannya.........."
Tidak butuh banyak diksi untuk mengakui bahwa ia memang teramat spesial. Cukup dengan berjalan di jalan lurus yang mulus saja rasanya aku sudah cukup puas memandanginya setiap hari seperti ini. Ya. Sosok ini benar-benar membuatku merasa melayang. Dengan garis wajah khas yang menawan, hidup rasanya sudah cukup membahagiakan hanya digunakan untuk memandanginya seperti ini. Dengan gaya santai yang terbilang apik, aku rela menghentikan waktu untuk dapat memperhatikannya sedetil ini. Cowok ini memang tidak turun dari langit, namun cowok ini mampu membuatku merasakan aroma syukur dari sekedar berdesak-desakan di Transjakarta. Terima kasih!!!
***
"Tari....... Coba deh dipikir lagi! Cowok itu tidak mengenal kamu. Kamu juga tidak mengenal cowok itu. Kalian bahkan tidak saling menyapa. Oke, kamu suka sama dia, tapi dia? Lebih baik suka sama orang yang kamu kenal baik dibandingkan sama orang yang nggak pernah jelas siapa namanya dan bagaimana sifatnya. Lihat deh... Febri! Dia itu sudah suka sama kamu sejak lama. Mama kamu juga sudah kenal sama Febri. Nah...... sekarang biarkan pangeran itu tinggal di khayalan kamu saja!"
Jalan tampaknya terasa sangat terjal ketika sahabatku, Nirina mengatakan hal yang menurutku cukup kejam. Kukatan cukup kejam, karena apa yang dikatakannya bukan tanpa alasan yang jelas. Makna yang disampaikannya secara denotatif diutarakan dengan penuh kejelasan dan aku sangat mengerti. Namun, sekali lagi hati ini membandel. Tak hanya hati, pikiranku pun ikut-ikutan membayangkan sosok istimewa si pangeran Transjakarta.
Hufth!!!! Memandanginya pagi tadi sejujurnya membuatku gatal untuk menyapanya. Ingin rasanya memberitahunya bahwa aku adalah gadis usil yang mengaguminya dari sejak awal pertemuanku dengannya. Ingin rasanya mengungkapkan bahwa dari detik pertama aku bertemu dengan raut senyumnya yang manis, pikiranku tidak berhenti untuk menggambar sosoknya. Ya, ia tampak begitu sempurna. Tak ada hal lain yang aku harapkan selain berjam-jam memandanginya seperti pagi ini.
Namun perkataan yang timbul dari pikiran Nirina mulai membuatku sadar bahwa aku mungkin jatuh cinta pada orang yang tidak tepat. Mungkin memang ada benarnya bila aku tepatnya memberikan perasaan yang selama ini kupagari dengan baik kepada orang yang kukenal dengan baik. Namun mungkinkah? Ketika hati dan pikiran ini selalu sukses membuat deskripsi tentang pangeran khayalan dari bus Transjakarta itu. Aku boleh terpana sekarang. Aku pun juga boleh tergoda. Tapi sepertinya benar apa yang dikatakan Nirina, aku tidak boleh membiarkan diriku terjebak cinta yang jelas-jelas pada akhirnya akan membuatku sakit hati dan terluka.
***
Aku meminta hatiku untuk berhenti, namun perasaan penasaran akan pangeran khayalan itu semakin diatas langit. Ia semakin jauh menembus hati dan pikiranku hingga sulit untuk mengusirnya dari sana. Imbasnya saat ini aku mulai mengharap hal-hal diluar kendali otakku. Perasaanku terhadapnya mulai tidak beres. Perasaanku terhadapnya mulai menemukan titik akses dimana tak sepatutnya menyukai orang ini terlalu dalam. Ia semakin terasa membayangi diriku. Padahal semakin hari, tak ada tanda-tanda lain kecuali aku saja yang memandanginya. Ia masih saja terlihat cuek dan sibuk dengan lagu yang diputarnya.
Sekarang aku semakin ingin jatuh. Aku semakin ingin menangis. Terlalu banyak spekulasi negatif, membuatku menyadari satu hal. Aku telah menyukainya lebih dari aku menyukainya kemarin. Aku bahkan mulai berani melepaskan harapan kosong itu berkeliaran di aliran deras darahku. Hari ini setiap cairan darahnya mendeskripsikan satu hal, seorang pangeran tampan yang naik Transjakarta.
Setiap hari deru CO2 yang keluar dalam setiap detik waktu berisikan kalimat-kalimat yang dapat menandai dirinya di atas hatiku. Ya, ampun rasa itu seperti mulai menusukku. Ia mulai membayangi setiap asa dalam benakku yang tak tersampaikan dengan baik. Kini aku terjebak dalam perasaan yang aku buat sendiri. Aku terjebak untuk mengalah pada keadaan dimana dari awal aku telah berjanji hanya untuk menggarisi perasaan ini sebagai rasa kagum. Tidak lebih. Namun, aku mulai melepaskan keyakinan itu. Padahal jelas-jelas cowok itu tak pernah akan mau turun untuk menghampiriku dan menarik uluran perhatian yang ternyata diam-diam aku tebar. Dia tetap akan disana. Di atas langit yang sulit kujangkau. Di atas langit yang sulit untuk kudaki terjalnya. Sakit sekali rasanya!
***
"Hei kemana saja kamu? Sudah empat hari aku tidak menemukanmu di Transjakarta yang biasa kunaiki. Sudah naik pangkatkah dirimu sekarang hingga tak lagi menunggangi Transjakarta?Jujur aku rindu dengan parasmu...... Namun, tidak bertemu denganmu seperti ini rasanya lebih baik. Setidaknya otak dan hatiku tidak lagi meraba hal yang abstrak!"
Ungkapan terakhir yang aku ketik di dalam hatiku merupakan rasa lelah sekaligus rasa rindu yang terpupuk sendiri tanpa sengaja. Sebenarnya ini adalah ungkapan paling jujur yang aku rasakan. Itu adalah isi dari keseriusan yang semoga didengarkan oleh otakku yang secara perlahan akan sadar dan menghentikan kegiatannya untuk terus menerus membuat deskripsi tentang cowok yang kusebut pangeran Transjakarta itu.
Sudah empat hari aku tidak menemukannya. Selama itukah waktu yang digunakannya untuk berlibur? Ataukah selama ini ia tahu bahwa aku selalu memperhatikannya? Karena ketidakhadirannya hari ini dan tiga hari sebelumnya adalah semiotik bahwa sebenarnya dia sadar aku selalu memandanginya dan diam-diam mengaguminya. Aku memakluminya karena bentuk ketidakhadiran ini adalah ucapan bisu yang mampu diutarakannya. Bentuk ini memang paling ampuh untuk memperlihatkan realita bahwa aku percuma merasakan perasaan seperti ini.
Sejujurnya aku berharap dia tidak melakukan hal ini. Seharusnya ada ungkapan terakhir sebelum dirinya benar-benar pergi dan tak kembali. Namun, bila harapan yang satu ini terkatakan dengan baik, aku justru semakin tidak rela untuk membiarkannya melepas realita untuk dilihat otak dan hatiku. Kini aku memang terpenjara. Dalam raut kesedihan penuh kenyataan pahit, aku bersikap memang seharusnya tak mengharap apa-apa. Ya, mulai hari ini aku harus terbiasa tak melihatnya.
***
Hari ini aku melakukan suatu pembaharuan dalam hidupku. Aku mulai mengajak otak dan pikiranku untuk merasakan cinta yang lebih sederhana namun sangat jelas. Ya, hari ini aku menerima tawaran untuk menghabiskan beberapa detik bersama Febri. Jujur, Febri bukan orang yang tidak menyenangkan. Dia manis, baik dan sangat jelas bahwa ia sangat cerdas dengan berbagai prestasi yang diraihnya. Untuk kualitas seperti itu, aku jujur merasa bangga terhadap perasaan yang secara terang-terangan diketikkan Febri padaku.
Kini aku menganut perkataan Nirina dengan baik. Aku mempersilahkan Febri untuk singgah dan bermain-main dengan otak juga hatiku. Mereka sedikit mereka terpaksa namun kuusahakan agar mereka menerima bahwa ini adalah sesuatu yang nyata. Kini, mereka pun mulai terbiasa meskipun sekali-kali ada nostalgia menyebalkan ketika aku memandangi bus Transjakarta yang mondar-mandir depan sekolahku.
"Hari ini motorku dibawa ke bengkel. Jadi pulangnya mungkin nggak pakai motor."
"Oh... ya sudah. Kalau begitu kita naik angkutan?"
"Transjakarta bagaimana?" Tawar Febri dengan memasang senyum paling manis yang sulit kutolak. Aku pun terpaksa mengiyakannya, meskipun kini otak dan hatiku sedang bersorak gembira karena mereka bisa kembali nostalgia dengan hal-hal menyangkut pangeran Transjakarta.
Hal ini lantas benar saja. Begitu aku memasuki halte, nuansa romantis begitu terasa ketika aku mengingat satu kejadian tentang jarum jam beradu mesra di dalam bingkai jam tanganku untuk menantikan saat yang tepat bertemu dengan Transjakarta yang harus aku tumpangi. Inilah yang selalu aku lakukan untuk memperkirakan waktu bus mana yang harus aku tumpangi untuk dapat bertemu dengan cowok itu. Bedanya kali ini tidak perlu dilakukan karena aku memang tidak memiliki alasan untuk itu.
Aku pun naik bersama Febri ke dalam bus yang kebetulan kosong. Hanya beberapa orang yang duduk di sana hingga sekali lihat aku bisa langsung tahu siapa yang duduk di ujung paling kiri bus tersebut. Berbeda dari biasanya kali ini dia memandang ke arahku. Dia adalah si tampan berbadan tegap itu. Dia adalah pemilik sosok yang kurindukan. Dia itu adalah si pangeran Transjakarta.
Detik itu perasaanku sangat bahagia. Hatiku bersorak kegirangan ketika dia masih memandangiku. Otakku pun membenarkan bahwa sepasang retinannya memang mengarah pada diriku yang saat itu duduk di samping Febri. Oh.... betapa melayangnya saat itu. Kini khayalan itu seperti sangat dekat. Sangat nyata. Terlebih lagi saat ini dia memasang senyum manis itu lagi dan mengangkat sebelah tangan kanannya yang memberikan tanda bahwa ia sedang menyapa. Ia benar-benar menyapa dan sekaranglah waktunya untuk mengambil kesempatan yang sangat langka ini, meski aku sadar bahwa Febri sedang membayang di sampingku.
Aku pun mengangkat sebelah tangan kananku dan mulai tersenyum ke arahnya dengan senyum yang paling manis yang mungkin kumiliki. Detik itu aku masih merasakan betapa besar kata bahagia hingga pada detik selanjutnya bahagia itu berubah menjadi sebuah tanda tanya. Cowok itu menurunkan tangannya. Senyumnya yang manis pun hilang. Aku merasa ini pasti ada sebuah bentuk kesalahan. Maka, aku pun memutuskan untuk langsung menoleh ke arah Febri yang ternyata sudah sejak tadi sudah memperhatikanku. Raut wajahnya penuh tanda tanya. Ia bingung. Aku pun juga masih bingung. Terlebih lagi dengan posisi tangannya yang terangkat sebelah. Kini aku menoleh lagi ke arah cowok itu. Ia kembali memasang senyumnya hingga sebuah suara menyadarkanku.
"Kamu kenal sama pacar kakak aku, Tari?????"
(Oleh: Umi Chairunnisa, foto ilustrasi: tumblr.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR