Sapaan ramah itu membuat kaget. Jantungku serasa ingin berhenti ketika melihat wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dariku. Aku terhenyak. Secara jelas, aku bisa melihat garis wajah itu. Aku bisa melihat senyuman itu. Aku bisa memandangi sepasang retinanya yang tengah memperhatikanku. Aku sesak. Aku tidak bisa bernapas. Bagaimana ini. Rasanyaaa.... Tidak! Aku pun kemudian memalingkan wajahku dan berlari menjauh menuju kamarku. Aku menutup kamarku rapat-rapat dan mengunci pintunya kemudian. Kini aku menghela napas, memegang dadaku yang bergemuruh keras. Jatuh cintakah?
***
"Kenalin, ini mamaku dan adikku yang paling manis, Tara. Tara, Mama, ini Raisa," ucap Stevan ramah padaku dan Mama. Gadis di sebelahnya juga tersenyum manis memamerkan keramahan dan kesopannya.
Mama pun dengan ramah mempersilhkan gadis itu duduk. Aku pun dengan sopan pergi dengan alasan akan memberinya minum. Jujur, aku bukan ingin berbaik hati. Aku juga tidak ingin memberikannya keramahan. Entah apa alasannya, tapi aku tidak suka. Aku tidak terlalu suka meskipun ia terlihat baik dan cantik. Aku tidak suka meskipun ia terlihat serasi dengan kakakku. Aku tidak suka meskipun ia juga memiliki pendidikan dan latar belakang keluarga yang juga baik. Pokoknya aku tidak suka.
Egoiskah? Tapi siapa yang salah? Siapa yang membuat Stevan menjadi begitu tampan. Kenapa Stevan harus menguruskan badannya seperti itu? Apa harus ia terlihat tampan begitu di depan gadis itu. Apakah itu gadis pujaannya? Apakah gadis itu yang menjadi alasan kakakku berubah? Aaahhh, rasanya benar-benar.... Semakin banyaknya pertanyaan yang mengalir, rasanya kepalaku makin pusing. Aku makin tidak suka dan aku makin membenci keberadaan gadis itu.
Ada apa sebenarnya ini? Cemburukah? Benarkah ini? Seharusnya aku tidak boleh memiliki perasaan seperti ini. Seharusnya aku bahagia, kalau memang kakakku sudah bahagia dan menemukan kebahagiaannya bersama gadis itu. Tidakkah lebih baik aku tersenyum manis dan mengucapkan selamat? Tidakkah lebih baik aku mengucapkan rasa sukaku pada gadis itu dengan tulus dan bukan mengumpatnya dengan rasa tidak sukaku seperti ini? ASTAGAAA....
***
Sudah seminggu aku sering melihat wajah gadis itu bolak-balik ke rumahku. Sudah seminggu juga aku berdiam diri tak menyapanya dengan lebih bermartabat. Dia mungkin sudah merasakan perasaanku ini. Tapi entah kenapa aku juga tidak peduli. Terlebih lagi ketika waktu bersama kakakku tersita gara-gara gadis itu, aku semakin kesal dan terang-terangan memandanginya dengan wajah yang mungkin dapat dikatakan tidak enak dilihat. Berlebihan? Mungkin. Tapi beginilah sindromnya orang jatuh cinta. Tingkah yang kekanakan, perasaan yang serba salah dan kemudian kecemburuan yang tidak berdasar pada alasan yang logis.
Bahkan kini aku sudah mengakui perasaan bergemuruh ini. Aku mengenalnya sebagai perasaan jatuh cinta. Meskipun dengan orang yang salah tapi beberapa hari ini aku memutuskan untuk menikmatinya saja. Walau rasanya tersiksa, tapi jatuh cinta diam-diam kepada saudara tirimu sendiri itu lebih menyenangkan. Ketika pagi hari, aku bisa memandangi wajahnya yang baru bangun tidur tanpa harus menyerang jejaring sosial dan menyandang pekerjaan sebagai stalker. Ketika pulang sekolah, ada wajah perhatian yang menanyakan keadaan sekolahmu. Lalu ketika malam, kita bahkan bisa dinner tanpa bersusah payah mengajaknya.
Namun, lagi-lagi keadaan indah itu terusik dengan adanya gadis bernama Raisa itu. Jelas dia bukan penyanyi. Aku juga tidak tahu apa dia bisa menyanyi merdu atau tidak. Tapi, Raisa ini tidak kalah cantik bila dibandingkan Raisa si penyanyi. Aku bahkan sempat ciut bila membandingkan diriku dengan dirinya yang anggun dan dewasa. Aku hampir kehilangan napas ketika menyamakan status SMA-ku dengan status 'anak kuliah' yang disandangnya.
"Kakak sudah berapa lama kenal kakakku?" tanyaku di suatu siang ketika Raisa sedang berkunjung di rumah. Wajah Raisa tampak sumringah ketika mendengar rasa antusias yang mulai kugambarkan atas hubungan percintaan dewasanya.
"Baru sekitar enam bulan. Kita baru pacaran tiga bulan ini. Kenapa?"
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR