Aku tersenyum manis. "Jadi selama ini kalian long distance, ya?" tanyaku datar.
Raisa mengangguk dan kemudian balas tersenyum.
"Kakak enggak curiga? Aku pernah mendengar kakak telpon seseorang. Aku tidak tahu siapa, tapi sepertinya sangat dekat. Coba dicek dulu. Kakak sekarang memang agak berubah. Semenjak wajahnya berubah lebih baik, dia menjadi gampang dekat siapapun," saranku sederhana. Raisa hanya tersenyum pahit. Kemudian terdiam dan membuang wajahnya ke arah lain. Aku merasakan bahwa api yang aku nyalakan mulai memanasi hati dan pikiran gadis cantik itu. Maaf, yaaa, Kak Raisa....
***
Perasaanku tidak nyaman. Sepasang retina menyebalkan terus dan terus saja memandangiku. Aku seperti terjebak. Hmmm...ada apa ini? Apa kakakku tahu apa yang aku lakukan? Sudah bertengkarkah mereka? Dengan berani aku memandangi wajahnya. Retina kami pun mau tak mau bertemu. Kini rasa bergemuruh itu datang lagi. Ia hadir menyemarakkan rasa hati yang tadinya kosong melompong. Ahhh...rasanya ini bukan untuk saudaraku sendiri.
"Kenapa?" tanyaku menantang.
"Kamu yang kenapa!"
"Maksudnya?"
"Aku putus. Ini semua pasti gara-gara kamu."
Aku terhenyak. Semudah itukah? Namun, aku tidak mau mengakui bahwa aku telah berubah jadi udang di balik hubungan mereka. "Kok aku?" tanyaku pura-pura tidak tahu.
Stevan hanya menghela napas. Ia tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya terdiam memandanginya. Wajahnya tampak frustasi. Ia pun berdiri dan kembali menatapku. Ia mengerutkan dahi. Ekspresinya seperti ingin berbicara, namun mulutnya seperti terkunci untuk mengatakan setiap kata-kata. Ia pun memalingkan wajahnya. Hanya berselang beberapa detik ia berjalan menuju kamarnya dan meninggalkan diriku yang masih terduduk di teras belakang. Aku hanya memandangi punggungnya yang siap ditelan oleh pintu. Namun, kutunggu hingga lima detik lewat, Stevan tak kunjung masuk. Ia bahkan menoleh dan memandangiku yang tengah memperhatikan tingkahnya. Kemudian ia pun kembali berjalan ke arahku dan duduk di posisinya semula.
"Tara...."
"Ya."
Stevan memandangiku lekat-lekat. Kini aku sudah tidak dapat merasakan apa-apa lagi. Kini yang aku rasakan hanya menunggu. Menunggu hingga Stevan mengatakan sesuatu. Setidaknya sebuah jawaban akan perasaan aneh yang kini aku rasakan. "Sudah. Cukup! Aku tahu kamu lebih dewasa dari diriku. Setidaknya kamu pasti lebih pandai menatanya, tapi kenapa seperti ini?" tanyanya dengan nada frustasi.
Aku memandanginya. Bingung. "Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.
"Tara.... Ini tak akan pernah berhasil. Meskipun aku pernah merasakannya sekali pun, ini enggak akan pernah berhasil. Sudah...cukup Tara! Jangan biarkan larut dan sekarang berhentilah untuk merasakannya! Kalau kamu tidak berhenti juga, aku akan terlena dan berbuat macam-macam pada adikku sendiri. Jadi kembalilah.... Aku ingin melihat Taraku kembali! Ahhh...jangan buat aku menyesal karena berubah seperti ini. Cukup!" ungkap Stevan tertahan.
Kini aku hanya terdiam memandangi sepasang retinanya yang berkaca-kaca. Seperti itukah kenyataannya. Seperti itukah perasaannya padaku. Apakah itu alasannya kenapa dia tidak pulang selama dua tahun? Apakah itu alasannya untuk mengubah dirinya sendiri? Astaga! Tara, sebodoh itukah dirimu selama ini. Aku hanya memandangi kakakku. Kakak tiriku. Aku menyerap semuanya, semua ucapannya. Ya...ini tak akan pernah berhasil meski berbalas. Meski aku mengatakan aku mencintaimu. Meski...I love you, my brother.... Kita tetap akan jadi saudara.
(Oleh: Umi Chairunnisa, foto ilustrasi: indipepper.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR