"Taraaa!!!" Sapaan itu mengagetkanku begitu saja. Seperti matahari terik yang menghujam Bandara Soeta hari itu, rasa panas juga kini ikut menghujam-hujam jantungku. Aku seperti bermimpi. Aku seperti berada dalam dunia khayal yang secara bodoh aku ciptakan di tengah keramaian siang bolong tersebut. Aku terbengong. Bagaimana tidak? Seorang cowok tampan dan berbadan tegap khas Vino Bastian menyapaku dan sedang berjalan menuju padaku. Padahal aku tidak tahu siapa dia, darimana dia dan tujuan apa yang membuatku terhenyak seperti ini. Oh tidaaak! Sekarang ia mendekat. Mendekat dan berhenti tepat di hadapanku. OHHH NOOO! BAGAIMANAAA INI?
"Heiii, ada yang bisa saya bantu? Apa saya mengenal Anda?" tanyaku sopan.
Pria itu terdiam. Ia mengerutkan keningnya. Ia tampak kebingungan. Lalu beberapa detik kemudian pria itu menggaruk rambutnya. Dengan lekat, ia kembali memandangi diriku yang mungkin kini juga memandanginya dengan tampang bodoh. Tak lama, wajahnya berubah lebih yakin. Ia bahkan berani mengelus lembut rambutku sehingga berhasil membuat jantungku seperti genderang yang ditabuh berkali-kali.
"Gue pasti enggak akan salah. Lo itu Tara, kan? Adik gue?"
Aku pun terdiam dan berpikir. Lalu tersentak mendengar kata-katanya. "Adik?"
Pria itu mengangguk-angguk yakin. Ia tersenyum manis. "Masa baru dua tahun lo udah lupa sama kakak lo yang ganteng ini?" tanyanya sambil menunjuk wajahnya sendiri dengan telunjuknya.
Kini aku mulai memandanginya. Aku penasaran, tapi wajahnya memang familiar. Aku memang mengenal garis-garis senyum manis itu. Memang seperti kakak laki-lakinya yang saat ini sedang ditunggunya. Kakak laki-laki gemuk yang sejauh ingatannya punya pipi menggemaskan dan kacamata kotak unik yang membuatnya tampak seperti cowok-cowok kutu buku pada umumnya. Sekarang? Cowok ganteng bertubuh atletis dan tegap itu berdiri di hadapanku. Tanpa lemak dan kacamata kotak? Tidak mungkin. Aku tidak percaya. Tapi....
"Keluarkan kacamatamu dan pakai! Aku tidak mungkin membawa orang asing pulang ke rumah. Bisa-bisa, Mama menuduhku membunuh kakakku sendiri dan menukarnya denganmu yang jauh lebih baik darinya," ucapku tanpa malu kepadanya. Ia pun hanya tersenyum sinis dan kemudian mengeluarkan kacamatanya dari balik jaket cokelat yang dikenakannya. Kacamata kotak itu pun kini menempel di wajahnya, lalu terlihat wajah gembul yang kini lebih tirus. Ganteng. Sekejap aku pun terhipnotis. Dia memang kakakku. Kakak tiriku, Stevan Agusta. Tidak mungkin untuk ke-sekian kalinya.
***
Aku pasti sial. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin! Aku lagi-lagi tidak bisa menerima kegantengan kakakku itu. Setelah dua tahun tidak bertemu dengannya karena ia bersekolah di Australia, membuatku berpikir ulang apakah ia kesulitan hidup di sana? Ahhh, apakah untuk makan saja terlalu sulit sehingga ia bisa sekurus itu? Tidak...dia bahkan jauh lebih keren dari Vino Bastian sekarang. Hatiku saja sudah bergemuruh sejak tadi. Ini terakhir kalinya aku merasakan hatiku seperti ini. Ya, terakhir kalinya setelah aku berpacaran dengan mantan pacar terakhirku dan kami telah mengakhirinya dua bulan lalu.
Tapi...tunggu dulu! Dia kakakku. Bukan cowok lain yang baru saja aku kenal dan kuajak berkenalan, lalu kubawa pulang kemudian mengenalkannya pada kedua orangtuaku. Tidak! Dia adalah kakak tiriku dan ayahnya adalah ayah tiriku. Meski kami tidak ada hubungan darah sama sekali, tapi ini tidak boleh! Aku tidak boleh terus seperti ini dan terus merasa suka terhadapnya. Aku tidak boleh merasa larut dalam bunyi genderang hati yang mustahil. Genderang hati ini boleh untuk siapa saja, tapi tolong...jangan untuk dia. Untuk orang yang tidak mungkin aku berikan pernyataan seperti 'I love you' atau lain sebagainya.
"Heiii!"
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR