Nino berjalan sendirian di tengah lalu lalang murid yang mengganas menyambut waktu istirahat. Ia sesekali nyengir pada orang yang dikenalnya dan melangkahkan kaki menuju ruang meditasinya, perpustakaan.
Setiap hari Nino mengunjungi ruangan penuh buku ini, sampai-sampai guru perpustakaannya hafal namanya. Kadang temannya, Lola, bercanda, "Loe itu tiap hari ke perpustakaan, emang loe pacaran sama siapa, sih, di sana, enggak bosen-bosen. Sama lemari? Atau Pak Supri, si librarian?" Memang ia tidak pernah bosan mengunjungi perpustakaan yang hening ini, karena di sini ia bisa merasa bebas, tidak ada yang perlu ditakuti.
Ya, Nino adalah anak yang kurang berani. Ia takut pada bermacam-macam hal, mulai dari serangga, gelap, hantu, hingga dirinya sendiri. Kadang Nino takut bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan apa-apa, mau jadi apa dia nanti saat dewasa. Ketakutannya ini kadang terlampau konyol di mata orang lain, membuat Nino kadang merasa minder.
Ia takut gagal, takut akan pendapat orang lain tentangnya, dan akhir-akhir ini ketakutannya bertambah lagi. Nino takut pada perasaannya sendiri. Ia sekarang duduk di kelas 9 dan selama 4 tahun ia telah menyukai seseorang namun terlalu takut untuk mengakuinya.
Mungkin karena ia memang pada dasarnya takut akan pendapat teman-temannya mendengar hal ini, atau mungkin karena ia takut untuk menyukai orang ini. Nino sendiri heran kenapa dari sedemikian banyak 'ikan' di lautan sekolahnya, ia memilih menyukai 'ikan' yang satu ini.
Namanya Austin. Ia anak yang tampan, pintar dalam pelajaran maupun olahraga, baik, sopan, ramah, dan memiliki senyum mematikan yang bisa membunuh sekawanan gajah dalam satu sunggingan. Singkat kata, Austin itu perfect.
Makanya Nino sering merasa takut, mana mungkin Austin yang ibaratnya dewa bisa menyukai seorang Nino yang penakut, mengenakan kacamata dan kawat gigi, tidak cantik ataupun sexy, dan senyumnya bisa membuat orang sekompleks lari ketakutan.
Belum lagi mengingat betapa ketatnya persaingan memperebutkan Austin ini, yang bahkan lebih ganas daripada persaingan antara tante-tante yang berebut barang diskon 90%. Ironisnya, saingan terberat Nino adalah teman dekatnya sendiri, Lola.
Lola layaknya langit jika dibandingkan dengan Nino, dan semua orang termasuk Nino sendiri juga sudah mengakui bahwa Austin dan Lola akan menjadi pasangan yang sangat cocok satu sama lain.
Oleh karena itu Nino memilih untuk menyerah, mundur dari persaingan, dan menggalau sambil mengamati pujaan hatinya melalui jendela perpustakaan yang menghadap lapangan, habitat sehari-hari Austin.
Siang ini juga sama, dia melamun sambil mengamati Austin menggiring bola ke sana ke mari. Nino menghela nafas, dia memang ditakdirkan menjadi penakut. Coba kalau dia bisa menjadi berani seperti Lola, berani berdiri dan bicara. Bel istirahat berbunyi, memecah lamunannya. Ia berjalan lunglai kembali ke kelas.
Pelajaran Bahasa Indonesia seperti biasa, membosankan. Gurunya, Ibu Hera, adalah guru yang sudah sangat berumur, mungkin sebentar lagi dia akan menjadi fosil saking lamanya mengajar, nadanya monoton dan bersuara pelan. Tak heran kebanyakan murid menjadi liar dan tak sedikit yang berbicara ramai.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR