Pedas, mungkin itulah yang cocok menggambarkan semua ucapan yang meluncur dari bibir Briliantina. Ia merasa Karin dan Mei sudah bertindak kerterlaluan-perlu digarisbawahi-karena enggak mewanti-wantinya untuk mengerjakan PR. Bukan, bukan karena Briliantina ingin mencontek atau apa tapi ia hanya butuh diingatkan saja kalau ada PR. Kecerdasan Briliantina-seolah namanya mempertegas kualitas keenceran otaknya-pastilah bisa mengerjakan tiap tugas yang diberikan. Sebagai buktinya, peringkat di rapornya enggak pernah melesat keluar dari tiga besar di kelas sejak ia masuk bangku sekolah.
Tapi, kali ini Briliantina kecewa.
"Biasanya Karin ato Mei sms gue gitu, lho, kita biasanya saling ngingetin satu sama lain, apalagi tiap kali ada PR."
Karena Gendis enggak kunjung berkomentar, Briliantina heran. Ia mulai berpikir yang aneh-aneh. Jangan-jangan Gendis membenarkan perbuatan Karin dan Mei yang enggak solider sebagai sahabat.
"Kok lo diem aja sih, Dis? Pendapat lo tentang perbuatan Karin dan Mei gimana? Yang salah gue apa mereka menurut lo?"
Gendis mendongakkan kepala. Ia alihkan pandangan matanya ke arah Briliantina yang menunggu jawaban versi dirinya.
"Kamu yakin mau denger pendapatku?" tanya Gendis, cewek kalem pindahan dari Jogja yang enggak banyak ngomong itu. Gendis sendiri adalah cewek yang solider dan setia kawan namun dengan caranya sendiri.
Briliantina mengangguk. Perlahan namun pasti, sorot matanya berubah sangat ingin tahu.
"Sebelumnya aku boleh tanya sesuatu, enggak? Dua pertanyaan penting menurutku?"
Wow, si kalem Gendis melahirkan kejutan; membuncahkan rasa penasaran. Briliantina menjadi sangat jauh ingin tahu dan menerka-nerka dua pertanyaan apa yang akan ditanyakan Gendis padanya.
Briliantina menunggu, sorot matanya antusias.
"Pertama, apa arti sahabat buat kamu? Kedua, seberapa jauh kamu memahami sahabat-sahabat kamu?"
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR