Backstage dipenuhi oleh aura tegang. Bau berbagai wewangian menyesaki ruangan sempit yang dipenuhi begitu banyak penari dengan warna-warni pakaian yang mereka kenakan. Di antara mereka, ada yang duduk berjajar di depan cermin masing-masing, memperbaiki letak mahkota yang dipasang di konde mereka. Atau ada juga yang sedang terdiam, memejamkan mata, mengusir rasa tegang mereka sebelum naik ke atas panggung.
Gisella duduk di hadapanku dengan matanya yang berkali-kali menghindari tatapanku. Dia membuka kipas berenda biru tuanya dengan gerakan cepat, seolah merasakan gerah yang menyelimuti ruangan ini.
"Hai," sapaku ketika dia tak sanggup lagi menahan keinginannya untuk menatapku. Tetapi dengan segera dia membuang muka.
Aku tertunduk, menggigit bibir bawahku menahan perasaan yang selalu bergemuruh kacau setiap kali dia memperlakukanku seperti itu. Gisella, apakah semudah itu kamu melupakan aku? Apakah karena mimpi kita yang terlalu serupa, sehingga kini kamu meninggalkan aku bersama janji persahabatan kita?
Tirai utama penutup panggung kini dibuka. Suara tepuk tangan penonton di luar sana, masuk melalui celah-celah kain hitam tebal yang membatasi backstage dengan panggung. Beberapa penari anak-anak bangkit dari tempat duduknya dan mengintip melalui celah besar kain hitam itu. Mereka berbisik-bisik dengan wajah tegang setelahnya.
Aku menghela napasku, mencoba menenangkan diriku yang ikut tegang. Kugenggam bandul kalungku yang berbentuk bola bening, dengan empat helai daun semanggi mungil di dalamnya sembari terpejam. Sekelebat bayangan samar muncul lagi....
Kala itu, tanganku terkait dengan tangan Gisella. Dia terus saja mengayun-ayunkan tangan kami sambil menyenandungkan lagu yang tak pernah kutahu apa judulnya. Dia berkata kalau lagu itu mengalun dengan sendirinya di dalam hatinya, seolah hanya dia sendiri yang dapat mendengarkannya, dan dia begitu ingin membaginya denganku.
Dan di tengah keramaian jalan Veteran, jalan besar di depan sekolah kami, tak menyurutkan langkah kami yang begitu kompak menapaki trotoar yang disesaki pedagang kaki lima. Suara ketukan dari sepatu pantofel kami, berbaur dengan suara klakson dari mobil-mobil angkot yang ngetem di depan Plaza Jembatan Merah hingga ke depan Toko Terang di ujung jalan sana. Tak kalah saing pula dengan suara golakan minyak panas dari para penjual gorengan.
Napasku kembali tercekat.... Kejadian setahun lalu, kembali bermain-main di pikiranku.
Gisella menatapku tajam, sejenak setelah kami berdua turun dari panggung, lalu dia mendorong tubuhku menjauh darinya. Senyumnya yang selalu merekah untukku, kini berganti wajah datar dan matanya yang menatapku tajam seolah jengah.
"Sel? Aku...aku salah apa?"
"Kamu...argh!" dia menghembuskan napasnya kuat. Tanpa melanjutkan ucapannya, dia melangkah menuju ruang ganti.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR