Samar kulihat Gisella yang menangis di pojok ruangan, memeluk dirinya sendiri dan menyangga kepalanya dengan kedua lututnya. Matanya sembab, menangis tanpa suara.
"Sahabat itu enggak ada...enggak pernah ada," gumamnya dengan dua tetes air mata yang meluncur pelan di pipi gembilnya. "Mama benar...sahabat itu musuh yang menusuk pelan-pelan dengan sikap manisnya."
Aku baru tersadar ketika sebuah tamparan mendarati pipiku. Kembali kutemukan mata Gisella yang seolah ingin keluar dari rongganya. Dia pun mendorong tubuhku hingga membentur dinding.
"Persahabatan kita dari SMP sudah berakhir setahun yang lalu. Aku enggak butuh sahabat...entah kamu atau siapa pun, aku enggak butuh! Aku enggak pernah butuh...!" teriakannya menggelegar, menggema di ruang latihan kami yang mulai temaram. Cahaya matahari senja mulai menyembunyikan dirinya.
"Sel...."
"Diam!" sengit dia menghentikan ucapanku.
Tiba-tiba pintu ruang latihan terbuka lebar. Teh Dewi muncul di depan pintu, lalu masuk ke dalam ruangan untuk menyalakan lampu.
"Gisella, Elena, ada apa ini?"
Gisella berdiri dan meraih tas rajut miliknya yang dia letakkan di samping tape. Tubuhnya melewati Teh Dewi tanpa menjawab.
"Gisella...!" panggilku dengan tangis yang telah pecah.
Teh Dewi melihat kepergian Gisella, bingung. Lalu dia beralih padaku, membantuku untuk berdiri.
"Len?"