Samar kulihat Gisella yang menangis di pojok ruangan, memeluk dirinya sendiri dan menyangga kepalanya dengan kedua lututnya. Matanya sembab, menangis tanpa suara.
"Sahabat itu enggak ada...enggak pernah ada," gumamnya dengan dua tetes air mata yang meluncur pelan di pipi gembilnya. "Mama benar...sahabat itu musuh yang menusuk pelan-pelan dengan sikap manisnya."
Aku baru tersadar ketika sebuah tamparan mendarati pipiku. Kembali kutemukan mata Gisella yang seolah ingin keluar dari rongganya. Dia pun mendorong tubuhku hingga membentur dinding.
"Persahabatan kita dari SMP sudah berakhir setahun yang lalu. Aku enggak butuh sahabat...entah kamu atau siapa pun, aku enggak butuh! Aku enggak pernah butuh...!" teriakannya menggelegar, menggema di ruang latihan kami yang mulai temaram. Cahaya matahari senja mulai menyembunyikan dirinya.
"Sel...."
"Diam!" sengit dia menghentikan ucapanku.
Tiba-tiba pintu ruang latihan terbuka lebar. Teh Dewi muncul di depan pintu, lalu masuk ke dalam ruangan untuk menyalakan lampu.
"Gisella, Elena, ada apa ini?"
Gisella berdiri dan meraih tas rajut miliknya yang dia letakkan di samping tape. Tubuhnya melewati Teh Dewi tanpa menjawab.
"Gisella...!" panggilku dengan tangis yang telah pecah.
Teh Dewi melihat kepergian Gisella, bingung. Lalu dia beralih padaku, membantuku untuk berdiri.
"Len?"
"Teh, aku enggak punya sahabat lagi sekarang. Padahal aku berharap banget kita bisa baikan. Gisella benci sama aku karena...karena...piala walikota setahun yang lalu, dan pialaku yang...." Aku tak bisa menyelesaikan kalimatku.
Teh Dewi menepuk pundakku. Alih-alih merapikan rambutku yang kusut, dia seolah membelai kepalaku.
"Len, untuk sesama penari di sini, sahabat itu memang seperti enggak ada. Kamu enggak akan bisa berbagi segalanya dengan orang yang sama sepertimu ... Teman dekat pasti ada, tapi sebenarnya kita semua saling bersaing. Biarkan Gisella pergi, Len."
"Tapi...."
Teh Dewi menghela napas, lalu duduk di dekatku sembari bersandar di dinding. Tak lama, dia memejamkan matanya dalam diam.
Kugenggam bandul kalungku. Muncul bayangan gadis kecil berponi yang menari sendirian di atas panggung yang gelap. Lampu sorot hanya mengarah padanya yang memainkan selendangnya dengan gemulai. Sementara di sisi panggung, puluhan gadis yang berpakaian sama dengannya, menatapnya jijik penuh dengki dari kegelapan.
"Pengkhianat!" teriakan mereka samar-samar, menelusupi suara musik pengiring tarian gadis itu.
"Teh Dewi?" aku menoleh padanya setelah bayangan itu menghilang. Kulihat setetes air mata meluncur turun di pipnya.
"Adik kecil, inilah mengapa kuhadiahi kamu kalung helai semanggi itu." Bayangan Athena muncul, dia berdiri di dekat dinding di bawah kipas angin yang ditempel tinggi. Rambutnya bergerak-gerak tertiup angin. Senyum di bibir merah mudanya terarah padaku. Beberapa detik sebelum dia menghilang, sekujur tubuhku ngilu. Dan...kalung berbandul helai semanggi itu tak lagi bertengger di leherku.
***
(Oleh: Akarui Cha, foto: imgfave.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR