Ketika musik berakhir, ketiga juri itu serempak berdiri dan menghadiahi kami dengan standing applause.
***
"Aku enggak pernah butuh kamu untuk jadi sahabatku!" dia melotot padaku. "Kamu selalu lebih hebat dari aku...! Tapi kenapa setiap latihan, kamu selalu kelihatan bodoh? Kamu mau menusukku dari belakang? Atau kamu mau berpura-pura bodoh di depanku? Apa yang kamu mau Elena...?" teriakannya histeris tepat di depan wajahku.
Aku menggeleng kuat. Gisella, tahukah kamu, aku tak pernah ingin menjahatimu? Aku masih menganggapmu sahabatku, walau selama setahun ini kamu tak lagi ingin bicara denganku. Aku menahan rindu...rindu mendengar senandungmu, dan setiap kita bertemu di kelas, aku selalu mengharapkan itu.
"Puas kamu!" wajahnya memerah menahan marah.
"Sel...." Coba kuraih tangannya. Begitu ingin kutenangkan dirinya, seperti yang biasa kulakukan dulu.
"Lepas!" Gisella dengan kasar menepis tanganku.
Dadaku seketika sesak, aku tak sanggup lagi menahan diri untuk tidak terisak. Ruang latihan yang kosong senja itu hanya menyisakan kami berdua.
"Kemarin kamu sengaja, kan, menari seperti itu?" dia semakin memojokkanku.
Aku hanya sanggup menggelengkan lagi kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaannya.
"Bohong! Kamu selalu bohong sama aku, iya, kan, Len? Kamu senang sudah mengalahkan aku lagi?"
Sesak di dadaku semakin tak tertahankan. Aku ingin memeluknya, lalu melepaskan tangisanku yang sedari tadi ingin pecah. Kugenggam kuat bandul bening kalungku. Pandanganku gelap seketika....
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR