Anna berpikir kalau Faris enggak tahu, kalau Anna tahu. Anna tahu jam berapa Faris biasanya keluar rumahnya dan berangkat ke sekolah, naik sepeda putih kesayangan Faris, yaitu jam enam lewat dua puluh menit. Dan Anna akan membuka jendela kamarnya dan melihat Faris dari jendelanya. Anna kemudian akan keluar, menghabiskan sarapannya, dan baru berangkat ke sekolah sekitar sepuluh menit setelah Faris berangkat.
Faris, cowok tinggi dengan kulit kecokelatan, rambut ikal yang jatuh turun, mata yang besar, dan senyum manis kesukaan Anna. Oh dan mungkin kesukaan cewek-cewek lain juga. Bukan hanya Anna yang sadar betapa manisnya senyum Faris. Suara Faris yang bisa dibilang cempreng untuk ukuran cowok, matanya yang akan menyipit saat tertawa, dan lesung pipit di pipinya yang menambah daya tarik Faris.
Anna berpikir kalau Faris enggak tahu, kalau Anna bahkan tahu berapa jumlah tas yang Faris punya. Tas biru tua yang dipakainya hari ini, tas hitam selempang yang biasanya dia pakai hari Jumat, tas abu-abu yang sudah dia coret-coret dan biasa dipakai saat hari santai, tas hitam kecil yang dia pakai saat main, dan tas merah Liverpool-klub bola kesukaan Faris-yang hanya dia pakai saat Liverpool menang, yang artinya jarang banget, karena Liverpool lebih banyak kalahnya.
Anna berjalan santai menuju sekolah, sambil menikmati udara segar pagi memenuhi paru-parunya. Rumah dia dan Faris memang dekat, hanya beberapa meter dari sekolah. Sebenarnya ada alasan kenapa Anna selalu berangkat setelah Faris berangkat.
"Anna!" panggil suara yang familiar dari belakangnya. Anna menoleh, mendapati Mbak Tiyas, kakak Faris, berdiri enggak jauh di belakang Anna dengan seragam sekolah lain. Sekolah Mbak Tiyas itu sekolah swasta yang harus ditempuh dengan angkot, dan sekolah Anna dan Faris itu sekolah negeri yang dekat rumah.
Anna berhenti dan menunggu Mbak Tiyas mencapai dirinya. Mbak Tiyas menenteng sebuah buku gambar A3 di tangannya.
"Lagi, Mbak?" Tanya Anna sambil tersenyum. Mbak Tiyas membalas senyum Anna dengan senyum yang meminta maklum.
Mbak Tiyas lalu memberikan buku gambar di tangannya pada Anna, "Kebiasaan memang dia. Buku gambar udah ditenteng-tenteng ke bawah, ketinggalan di meja makan. Tolong, ya, Na."
Anna menerima buku gambar Faris, dan mengucapkan sampai jumpa pada Mbak Tiyas yang mengambil jalan lain ke sekolahnya. Anna melanjutkan jalannya ke sekolah. Sambil jalan, dia membuka buku gambar Faris. Kelas X-D ada pelajaran menggambar hari ini kayaknya, pikir Anna.
Kalau dilihat dari depan, buku gambar Faris penuh dengan tugas gambar perspektif dari guru. Tapi kalau dibuka dari belakang, akan terlihat coretan Faris yang penuh seni, dengan warna-warni yang beragam. Anna tersenyum melihatnya. Faris suka seni menggambar. Bahkan coretan Faris enggak bisa dibilang coretan, karena hasilnya bagus banget. Anna baru sempet lihat sampai halaman kedua dari belakang, saat dia sudah sampai depan gerbang sekolah.
Di sekolah, ketika Anna baru sampai lapangan, Anna bertemu teman sebangkunya, Tiara. Keduanya jalan bareng menuju lantai tiga, tempat ruang kelas sepuluh berjejer.
"Gue ke kelas D bentar, Ra," kata Anna, dan Tiara mengikuti di belakangnya.
Sampai di depan pintu kelas D, Anna memanggil Faris.
"Lo ada urusan sama cowok gue?" tanya Tiara. Anna tersenyum seadanya.
Saat Faris menghampiri keduanya, dia memandang Anna dengan tatapan penuh terima kasih. "Anna, lo emang keren banget, deh. Bisa pas terus, yah, kalau gue ketinggalan barang pas elo berangkat," kata Faris, dan ia lalu menyapa Tiara dengan kata-kata manis. Anna pamit duluan dan meninggalkan keduanya melakukan obrolan pagi penuh cinta.
Anna dan Faris sudah berteman dari SD. Mereka selalu satu sekolah, dan beberapa kali sekelas. Dekatnya mereka sudah enggak ada yang bisa ngalahin. Orangtua mereka kadang suka berfantasi buat menjodohkan mereka, tapi keduanya selalu menanggapi itu sebagai candaan.
Anna suka Faris. Dari SD malahan. Hanya Faris yang bisa Anna suka. Tapi Anna pikir, jadi teman dari kecil sama sekali enggak membuat Anna jadi spesial buat Faris. Enggak peduli seberapa terobsesinya Anna pada Faris. Terbukti, selama mereka berteman, bukan sekali ini Faris jadian. Dan biasanya, Faris memang jadian dengan teman Anna. Polanya adalah, Anna punya teman baru, kemudian saat main ke rumah, temannya itu akan ketemu Faris, temannya akan tertarik, dan Faris juga. Sisanya, mengalir sampai jadian. Begitu terus dengan pola yang sama. Lima kali sudah kejadian seperti itu.
Jadi bagi Anna, melihat teman sebangkunya jadian sama cowok pujaannya, bukanlah hal baru.
Padahal baginya, Tiara enggak tahu apa pun tentang Faris. Anna tahu semuanya. Anna yakin, enggak ada yang perhatian ke Faris, lebih dari perhatiannya selama bertahun-tahun.
Kalau ditanya, apa dia ingin Faris tahu perasaannya, mungkin jawabannya iya. Tapi hal yang penting seperti ini, biasanya yang paling susah dikatakan. Permasalahannya, selama ini fakta bahwa Anna suka sama Faris hanya jadi urusan Anna dan dirinya sendiri. Anna enggak cerita ke siapa pun. Jadi memang enggak ada pilihan lain selain keluar dari mulut Anna sendiri.
Cewek nembak cowok memang hal yang biasa sekarang. Bukannya Anna enggak berani, tapi hanya Faris yang beda. Dia pernah pura-pura nembak teman sekelasnya, hanya buat lucu-lucuan. Dia enggak masalah. Tapi ngomong suka ke Faris sama sekali bukan sesuatu yang bisa djadiin lucu-lucuan. Buat Anna, perasaannya buat Faris terlalu berharga, sampai susah rasanya kalau harus dibagi bahkan ke Faris sendiri.
Mungkin ini susahnya jadi cewek dengan pola pikir kolot, pikir Anna. Enggak peduli sebesar apa perasaan dia ke Faris, dia enggak bisa melakukan apa pun selain memberikan sinyal semampunya. Semua keputusan akhir ada di tangan Faris. Anna hanya bisa nunggu Faris akhirnya sadar, that the girl next his door, has already fallen over the heels for him, from the very first day.
***
Faris melambaikan tangan ke Tiara, yang berjalan menuju kelas X-E saat bel tanda masuk akhirnya berbunyi. Faris membuka buku gambar yang tadi dibawakan Anna. Di tengah halamannya, coretan tentang apa yang dia rasakan terlukis dengan indah. Faris menghela napas. Jantungnya mulai berdegup kencang, dari saat dia akhirnya ingat dia meninggalkan buku gambar di meja makan, sampai sekarang.
Faris lalu menangkap sosok Anna keluar dari kelas sambil membawa sampah di tangannya. "Anna!" panggil Faris. Anna menoleh, lalu mengangakat alisnya. Faris menggerakkan tangannya, memanggil Anna untuk mendekat. Anna pun mendekat.
"Makasih, ya, udah nganterin buku gue," kata Faris bingung mau mulai dari mana.
"Lo kenapa? Tumben amat, gue nganter buku gambar aja ngomong makasihnya sampe dobell," kata Anna secuek biasanya.
"Lo liat isinya?"
Anna lalu diam. Seolah berpikir sejenak.
"Iya."
Matilah gue. "Gambar lo kerenan yang di belakang daripada yang depan," kata Anna sambil tersenyum. Faris mengerutkan kening. "Lo liat sampe mana?"
"Cuma dua halaman dari depan sama dua halaman dari belakang. Kenapa emang?"
Faris merasa seolah darahnya mengalir lancar kembali. Sekarang gantian Anna yang menautkan kedua alisnya. "Kenapa emang?"
Faris tersenyum jahil. "Rahasia."
"Halah, palingan tulisan nama cewek lo," kata Anna.
Faris tersenyum makin lebar. "Tau aja lo," katanya, lalu Anna tertawa kecil dan berbalik.
Faris kembali membuka halaman tengah buku gambarnya. Ya. Dia memang menulis dengan ornamen indah, nama cewek yang dia sayangi. Bukan suka lagi. Dia sayang cewek yang namanya tercantum di sini. Tapi bukan nama Tiara yang tercantum.
Faris memandang Anna lagi, yang akhirnya menghilang di balik pintu kelasnya.
***
Faris berpikir kalau Anna enggak tahu, kalau Faris tahu. Faris tahu jam berapa Anna biasanya keluar rumah dan berangkat ke sekolah, jalan kaki dengan santai sambil menghirup udara segar. Jam setengah tujuh pas. Dia sampai nyuruh Mbak Tiyas untuk memperhatikan jam berapa Anna berangkat. Lalu Faris akan berdiri di balkon lantai tiga sekolah, melihat Anna berjalan menyeberangi lapangan sekolah. Dan saat Anna menghilang dari penglihatan, dia akan masuk lagi ke kelas, berpura-pura enggak melihat Anna datang.
Anna, cewek dengan tinggi standar cewek, kulit putih kecokelatan, rambut ikal yang dia banggakan, mata yang tajam dan indah, serta senyum kesukaan Faris. Oh dan mungkin kesukaan cowok-cowok lain juga yang diem-diem ngefans sama Anna. Bukan hanya Faris yang sadar betapa manisnya senyum Anna. Suara Anna yang bisa dibilang ngebass untuk ukuran cewek, matanya yang tajam saat menatap orang, dan kebiasaannya memandang lurus ke mata saat bicara sama siapa pun. Bikin siapa pun yang ngomong sama dia, sering akhirnya salah tingkah sendiri.
Faris berpikir kalau Anna enggak tahu, kalau Faris tahu berapa jumlah sweater yang Anna punya. Sweater cokelat rajut yang dipakainya hari ini, sweater merah yang dia pakai setiap Kamis, sweater hitam tebal yang dia pakai setiap udara dingin karena hujan, sweater putih yang dia pakai setiap Senin, dan sweater Chelsea-klub bola kesukaan Anna-yang dia pesan khusus ke abang sablon deket sekolah, dan dipakai setiap Chelsea menang, yang akhir-akhir ini jarang dipakai karena Chelsea lagi paceklik kemenangan.
Faris masuk dengan santai ke kelas, lalu duduk di kursinya. Letak kursinya ada di pojok dekat jendela yang menghadap koridor, di tiga baris dari depan. Faris suka duduk di samping jendela. Karena setiap dia bosan dengan pelajaran yang dia enggak mengerti, dia bisa melihat keluar, untuk menyegarkan diri. Sebenernya ada alasan lain kenapa Faris selalu keukeuh mau duduk di deket jendela.
Tepat beberapa saat kemudian, Anna muncul lagi di depan kelas Faris. Jendela ruang kelas sekolahnya dilapisi lapisan ray-ban, jadi dari dalam bisa lihat keluar, tapi tidak sebaliknya. Dan tepat di depan kelasnya, ada meja kecil tempat murid-murid sering mengisi tinta spidol papan tulis. Anna adalah sekretaris kelasnya, dan setiap hari, Anna yang bertugas bolak-balik mengisi spidol.
Faris memangku wajahnya yang menatap Anna di luar kelas. Anna berdiri di depan meja sambil membawa empat buah spidol di tangannya. Dia mengisi spidol dengan telaten, saking seringnya dia mengisi.
"Heh, bro," panggil suara yang familiar dengan tepukan di pundak Faris. Faris menoleh dan mendapati Dimas duduk di sampingnya. "Eh, itu barusan Anna, yah?" tanya Dimas, Faris menoleh, dan ternyata Anna sudah jalan balik ke kelasnya. Faris mengangguk mengiyakan pertanyaan Dimas.
"Yah, kurang cepet gue," gumam Dimas. Dia kemudian menyerahkan sebuah buku kepada Faris. "Gue mau minta tolong Ris. Nitip novelnya Anna yang kemaren gue pinjem. Gue mau dispen entar jam ketiga. Tolong, yah, bro," katanya lalu pergi dari bangku sebelah Faris.
Faris memandangi cover novel di tangannya. Agatha Christie - Murder in Mesopotamia. Faris menghela napas, selera bacaan Anna memang menyeramkan.
Faris membaca sinopsis di belakangnya. Sama menyeramkannya dengan judulnya, menurut Faris. Anna memang suka banget dengan sesuatu yang berbau misteri. Waktu SMP, pas ditanya siapa tokoh idola favoritnya, saat orang-orang menjawab Edward Cullen atau Harry Potter, Anna malah menyebut nama tokoh detektif yang sependengaran Faris namanya Hercules...atau apalah. Setelah meneliti buku di tangannya dengan baik, dia ingat kalau nama yang disebut Anna itu Hercule Poirot. Novel di tangannya itu sepertinya novel dengan tokoh kesukaan Anna.
Akhir-akhir ini, teman sekelas Faris, Dimas, jadi dekat sama Anna. Awalnya, keduanya dekat karena Faris. Dan ternyata mereka punya selera yang sama soal bacaan, dan jadi nyambung banget satu sama lain. Dimas bahkan sempat mengaku kalau dia ngerasa Anna cewek yang manis. Dimas pernah cerita ke Faris, gimana dia suka banget dengan cara Anna memandang segala hal. Dia suka sudut pandang hidup Anna yang aneh dan lain daripada yang lain, dan kecenderungan Anna untuk tetap jadi dirinya sendiri, dibandingkan mengikuti mode yang ada.
Faris kesal banget sama omongan Dimas waktu itu.
Faris sayang sama Anna. Dari SD malahan. Hanya Anna yang bisa Faris sayang. Tapi Faris sama sekali enggak bisa membuat Anna luluh, bahkan dengan segala perhatian kecil Faris. Enggak peduli Faris jadi sebaik apa, Anna akan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar, karena mereka teman sejak kecil. Anna enggak peduli seberapa terobsesinya Faris sama Anna. Terbukti, selama mereka berteman, berkali-kali Faris jadian dengan cewek, untuk membuat setidaknya Anna cemburu sedikit saja, tapi Anna sekeras baja. Dia sama sekali enggak menunjukkan tanda apa pun soal kecemburuan. Dan justru Faris yang bakalan cemburu, melihat Anna dekat dengan teman dekatnya. Ini bukan sekali.
Padahal baginya, Dimas enggak tahu apa-apa tentang Anna. Faris tahu semuanya. Faris yakin, enggak ada yang perhatian ke Anna, lebih dari perhatiannya selama bertahun-tahun.
Faris mau nembak Anna. Kalau dihitung-hitung, ada kali dua belas kali dia merencanakan mau nembak Anna. Tapi selalu gagal. Entah kenapa dia akan jadi sangat pengecut untuk ngomong, dia akan terlihat sangat menyedihkan dan penakut. Hanya ke Anna sikapnya bisa jadi sejauh ini. Dia meerasa, Anna enggak pernah menaruh perhatian sedikit pun ke Faris. Enggak peduli dia sudah memacari hampir semua teman Anna untuk membuat setidaknya Anna menengok ke Faris dengan tatapan yang Faris harapkan. Anna tetap secuek biasanya.
Dia pikir, perasaannya berjalan searah, bahkan sebelum menyatakan.
Anna akan memandang Faris dengan tatapan polosnya, memperlakukan Faris dengan perlakuan layaknya teman sepermainan. Enggak peduli seberapa besar rasa yang sudah Faris pendam sejak lama ini. Padahal kalau dengan cewek selain Anna, bahkan kata sayang pun bisa dengan mudah keluar.
Tapi Anna berbeda.
Hal paling penting selalu jadi yang paling sulit dikatakan.
Anna sama sekali enggak tahu, that the boy next her door, has already fallen over the heels for her, from the very first day.
***
Tiyas duduk di depan teras rumah Anna dan kakaknya, Bella. Tiyas dan Bella seumuran. Keduanya kelas tiga sekarang, meskipun beda sekolah. Tapi mereka sahabatan sejauh ini. Tiyas lagi sibuk membersihkan kukunya, dan Bella duduk di sampingnya sambil membaca majalah.
"Gue gregetan, deh, liat adek-adek kita," gumam Tiyas. "Si Faris tuh beneran suka sama adek lo, tapi terlalu cupu buat ngaku."
"Yah elo enggak tau aja," kata Bella, "Adek gue itu tergila-gila sama adek lo. Adek lo aja tuh bloon, bukannya nembak adek gue, malah nembak temennya."
"Cupu emang dia. Dia bilang, Anna tuh beda Mbak. Aku tuh susah jujur sama dia. Mbak enggak ngerasain sih jadi aku," kata Tiyas sambil pura-pura menirukan suara Faris. "Orang satu komplek tau kali mereka saling suka. Yang enggak tau mereka berdua doang. Aneh. Gitu yah orang kalo lagi jatuh cinta. Spekulasinya jelek terus."
Bella lalu mengesampingkan majalahnya, dan duduk menghadap Tiyas. "Yas, kita jodohin mereka aja gimana?"
***
(Oleh: Diah Deir Zahrani, foto: weheartit.com)
*alternating current: aliran listrik yang berganti arah beberapa kali selama satu detik dengan interval yang teratur.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR