Suasana sangat ramai waktu istirahat. Apalagi masa kampanye OSIS. Para calon ketua dan wakilnya memanfaatkan waktu istirahat untuk promosi dengan gencar. Tidak ketinggalan pasangan Awan dan Rizky. Bermodal bunga yang dibentuk dari kertas krep kuning serta paket senyum manis disertai kedipan mata mereka berikan pada setiap cewek yang ditemui, berharap dipilih segenap masyarakat sekolah. Syukur-syukur ada cewek cantik yang kebetulan jatuh cinta. Memang duo wajah tampan sejagat, sih.
"Hai, Cantik. Gue Awan dari 11 IPA 1, dan ini temen gue," mulai Awan.
"Rizky dari 11 IPA 2, calon ketua OSIS dan calon wakil ketua OSIS yang baru, nih. Pilih kami, ya. Kenapa mesti milih kita, Awan?"
"Karena kita akan memimpin dengan segenap cinta. Ingat, nomor 2! Thank you !" ujar Awan sambil menyerahkan setangkai bunga kuning dan kedipan mautnya. Ajaib, setelah mereka berlalu, para cewek dengan kelompoknya melompat-lompat kegirangan seperti habis bertemu artis favorit mereka. Target utamanya adalah anak perempuan kelas 10. Dengan strategi yang unik mereka menarik banyak hati cewek, hampir seluruhnya terpesona terhadap dua cowok cerdas itu.
Sementara yang lain berpesta setelah mendapat bunga dari duo Awan-Rizky, Ebi, salah seorang korban, memiliki reaksi yang berbeda. Ia menunjukkan wajah tanpa ekspresi. Teman sekumpulannya bingung, bahkan berpikir ada yang salah dengan Ebi.
"Woi, Bi. Lo enggak papa?" tanya Icha.
"Oh, enggak papa, kok," jawabnya senyam-senyum enggak jelas.
"Lo enggak terpesona? Gila, kuat banget lo!" seru Putri.
"Nggaklah. Gue sangat terpesona sampe enggak bisa nafas, nih," kata Ebi.
"Yah, gue kira lo enggak terpesona," ujar Putri.
"Kira-kira gimana, ya, cara PDKT ama kakak kelas?" gumam Ebi.
"Yah, kenal aja belom," sahut Icha. Ebi menyipitkan matanya. Lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku roknya. Tada! Ide brilian (nekat) terbayang di benaknya.
Ebi membeli sebotol air mineral dari kantin. Sapu tangan sudah disiapkan di saku kemeja, agar mudah mengambil. Ebi tengah beruntung, Awan sendirian dengan tubuh berpeluh setelah bermain basket di bawah teriknya matahari. Ebi duduk di sebelah Awan dan menyodorkan sapu tangan motif kotak-kotak biru itu. Awan menerimanya tanpa ragu dan meminum air mineral itu lalu mengulurkan tangan yang segera disambut meriah oleh Ebi.
"Jadi nama lo Ebi? Thanks ya, Bi. Oh ya, jangan lupa dukung Awan-Rizky. Nomor 2. Jangan salah pilih," sahut Awan ramah sambil promosi.
Dan begitulah awal perjuangan Ebi menuju Awan. Bahkan Ebi dengan sadar dan ikhlas membantu Awan-Rizky dalam kampanyenya. Berteriak, menempel poster dari dinding ke dinding, sampai merangkai bunga-bungaan untuk dibagikan kepada siswa-siswi sekalian. Rasanya orang buta pun dapat melihat perasaan Ebi untuk Awan. Ebi memanfaatkannya sebagai salah satu usaha pendekatan pada pujaannya itu. Awan jelas enggak masalah, dia banyak dibantu Ebi. Tapi perasaannya ke Ebi, sih, perlu diragukan. Tapi bukan cinta kalo enggak buta. Ebi sih enggak peduli asal bisa dekat dengan Awan.
Usaha keras mereka enggak sia-sia karena Awan Rizky berhasil dinobatkan sebagai ketua dan wakil OSIS yang baru dengan perolehan suara cukup mengagumkan. Delapan puluh lima persen dari hasil suara memilih Awan dan Rizky. Mungkin virus cinta para perempuan turut menginfeksi laki-laki sekalian. Ebi jelas bahagia dengan keberhasilan Awan.
Hari-hari bahkan 1 tahun telah berlalu. Hubungan Ebi dengan Awan masih sebatas teman. Ebi yang memang agak manja mungkin bukan tipe kesukaan Awan. Seperti pria kebanyakan, terbukti yang disukai Awan adalah tipe cewek ramping berambut hitam lurus panjang. Berkulit putih dengan mata cokelat dan kaki kurus dan jenjang. Yang tadi dijelaskan adalah Rani, pacar Awan sejak 11 bulan lalu. Kabar ini jelas bukan kabar gembira buat Ebi. Tapi Ebi menerimanya tanpa ada sedikit niat untuk menjauh pelan-pelan dari Awan.
Beberapa hari kemudian, Ebi dan teman-temannya baru menyelesaikan pekerjaan mading ketika matahari sudah berwarna oranye pertanda sore. Pengurus OSIS juga tampak baru mengakhiri rapat mereka. Icha diantar Rizky pulang. Hubungan mereka lancar mengundang iri. Gerimis yang perlahan turun pasti akan mendramatisir perasaan sepasang jiwa yang sedang mabuk cinta. Tidak hanya sepasang, bahkan Ebi merasa bahagia meski hanya berdiri di samping Awan. Mereka tidak bicara sedikit pun. Ebi juga tidak tahu harus bicara apa karena mereka memang lama tidak mengobrol. Awan terdengar meremas kertas sambil berdecak kesal. Lalu ia berlari menembus hujan ke seberang lapangan dan melempar remukan kertas kuning itu sembarangan.
"Awan!" teriak Ebi. Awan menoleh.
"Sampahnya!" seru Ebi. Awan tidak menjawab. Ia sudah sampai di koridor seberang Ebi berdiri.
"Awan!" ulang Ebi. Kali ini Awan tidak peduli.
"Awan jahat!!" seru Ebi hampir menangis. Ebi berlari memungut kertas kuning yang dibuang Awan dan meletakkan sampah itu di tempatnya. Awan melihat kejadian itu tanpa Ebi sadari. Ebi yang biasanya selalu ingin tahu, kali ini tidak. Tanpa sedikit pun berminat ia membuang kertas itu begitu saja. Merupakan suatu yang aneh bagi yang mengenal Ebi, karena tidak sekali pun ia melewatkan kertas yang lewat tanpa ia baca. Ebi menangis dalam perjalanan pulangnya. Tidak dipungkiri Awan khawatir dan bingung dengan Ebi. Meskipun ingin menemaninya, keinginan Awan kalah besar dengan gengsinya yang kelewat tinggi. Ebi berjalan di hujan yang semakin besar tanpa ada usahanya menghindar hujan.
Dua hari kemudian Ebi masuk tanpa kobaran semangat seperti biasanya. Tapi ia tetap tertawa mendengar candaan Icha, atau hanyut pada gosip Putri. Kecuali gosip yang baru saja Putri ceritakan saat pelajaran kosong sebelum pulang.
"Katanya Awan-Rani udah bubar dari empat bulan lalu,"
"Iya? Empat bulan lalu? Kok telat banget sih gosipnya?" cecar Icha.
Ebi diam seribu bahasa. Putri dan Icha jelas bingung. Biasanya mata Ebi akan membelalak mendengar nama Awan disebut dan meributi Putri dengan banyak pertanyaan. Bahkan sosok Awan yang tiba-tiba lewat di samping meja mereka pun tidak diindahkannya.
"Kenapa lo, Bi?" Icha dan Putri berpandangan.
"Hai, Udang! Kemarin enggak masuk, ya? Kenapa? Sakit? Sakit apa?" tanya Awan yang sudah duduk di meja Ebi tanpa spasi.
Ebi tidak bergeming. Icha, Putri, dan Awan berpandangan. Bel berdering waktunya pulang. Ebi meraih tasnya dan melangkah besar-besar ke luar kelas. Sekeras usaha Ebi melangkah jauh, masih terkejar Awan yang kakinya sepanjang tongkat pramuka itu. Ebi tertahan tangan Awan dan terpaksa menghadap wajahnya.
"Lo marah sama gue?" Awan menatap tajam.
"Kecewa. Gue enggak suka sama cowok yang enggak bisa gunain tempat sampah," balas Ebi keras.
"Lo ngejar gue setahun, terus kecewa cuma karena gue nyampah di lapangan?"
"Iya. Ketua OSIS mana yang buang sampah sembarangan?"
Awan berpikir sejenak.
"Kalo gue bersihin satu sekolahan ini selama seminggu, lo mau temenan ama gue lagi?"
"Gue kira lo malu punya temen kaya gue yang freak gini," kata Ebi.
"Idih, ngambek. Muka lo makin abis," kata Awan sambil tertawa.
"Sialan," Ebi tersenyum juga.
"Tapi gue punya permintaan,"
"Apa pun itu. Inget, seminggu. Dan janji enggak akan buang sampah sembarangan lagi,"
"Deal," Awan menjabat Ebi semangat.
Jadilah Awan membersihkan seluruh sekolah selama seminggu. Itung-itung meringankan para pekerja, pikir Ebi. Dia sendiri mengakui dalam hati kecilnya masih menyukai Awan. Namun kebenciannya pada manusia yang tidak bisa membuang sampah pada tempatnya lebih besar. Ia memang ditanamkan oleh orang tuanya sejak kecil bahwa orang yang tidak membuang sampah pada tempatnya tidak mungkin orang yang baik. Atau setidaknya tidak tahu sopan santun. Ebi senang Awan memiliki pikiran untuk membersihkan sekolah sebagai tanda penyesalannya. Ebi akan memberikan segala yang Awan minta. Bahkan jika Awan tidak mau berteman lagi dengannya Ebi tetap senang bila Awan bertobat.
Seminggu berlalu. Sekolah jadi lebih bersih, setidaknya itu pendapat Awan. Tindakan Awan pun dipuji oleh semua guru dan banyak membuat siswa malu untuk membuang sampah sembarangan lagi. Gigi Awan hampir kering karena kebanyakan nyengir. Ia tak sabar menunggu sekolah usai.
Sekolah sudah tidak banyak murid. Bel pulang sudah berdering sejak setengah jam yang lalu. Di koridor samping lapangan keduanya berdiri di tempat yang sama ketika mereka berdiri waktu itu. Matahari bersinar redup terselimuti awan. Mereka sedang membahas transaksi yang sangat penting dan rahasia.
"Jadi kita udah temenan lagi, ya?" tanya Awan. Ebi mengangguk.
"Makasih, ya. Gara-gara lo, sekolahan jadi lebih seger rasanya."
"Emang tampang gue buat cuci mata, kok," Ebi tertawa.
Keduanya terdiam. Masing-masing merasa canggung satu dengan yang lain.
"Oh ya, tentang permintaan itu...." Awan meragu.
"Ngomong aja," kata Ebi. Awan menatap Ebi dalam-dalam. Ia menarik nafas lalu memegang pundak Ebi.
"Setahun cukup bikin gue jatuh cinta ama lo. Udang kecil, mau enggak jadi pacar gue?" Ebi tidak percaya. Awan tersenyum. Ebi menunggu Awan berkata semuanya hanya lelucon. Tapi Awan tidak kunjung tertawa.
"Lo udah gila, Wan," tukas Ebi sambil menyembunyikan wajahnya.
"Itu artinya mau, kan?" Awan cekikikan. Ebi cengegesan.
"Iya."
***
(Oleh: Kezia Verenia, foto: imgfave.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR