Winda mencet-mencet remote televisi dengan kesal. Sudah berkali-kali dia mengganti channel tapi belum juga menemukan acara yang disukainya. Suasana hati Winda memang sedang muram hari-hari ini. Dia bosan harus menonton acara-acara membosankan sepanjang hari, dia kesal seharian terpaksa menatap layar hitam-putih dan dia juga marah karena terkurung di rumah tua yang mengerikan itu.
Winda mulai stress dan marah kepada semua orang. Dia marah kepada Neneknya yang tidak punya hiburan lain di rumahnya selain majalah terbitan sebelas tahun yang lalu dan TV rongsokan yang sudah tua, bobrok dan banyak semutnya. Dia marah kepada ibunya karena telah memaksakannya untuk tinggal di rumah neneknya yang bernama Euis. Dan dia juga marah kepada teman-temannya yang telah meninggalkannya di tempat itu sementara mereka semua berlibur ke pulau Bali.
Semua pikiran itu bercampur aduk di dalam otaknya sehingga membuat kepalanya terasa mau meledak. Bayangkan, setelah bergulat dengan sederet ujian yang melelahkan, dia terpaksa menghabiskan seluruh masa liburannya di tempat itu. di rumah neneknya yang terletak di kompleks perumahan paling membosankan yang pernah Winda lihat seumur hidupnya.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di tempat itu. sejak tadi Winda menghabiskan waktunya dengan tidur, makan, nonton TV dan tidur lagi sampai akhirnya dia terbangun sore harinya dan mulai berkeliling kompleks. Tapi perumahan itu seperti kota mati. Suasana begitu sunyi karena sebagaian besar rumah di sekitar situ kosong. Sedangkan rumah yang berpenghuni sama sepinya dengan kuburan. Semua pintu dan jendela ditutup rapat-rapat seolah takut terkena virus, hampir tidak ada yang keluar rumah, tidak ada remaja seusianya yang bisa diajak bermain dan tak ada tanda-tanda kehidupan yang tampak di daerah tersebut.
Akhirnya Winda pulang lagi ke rumah Nenek Euis dan mulai membaca majalah kadaluarsa yang dicetak sebelas tahun yang lalu. Setelah itu dia kembali menyetel televisi sampai sekarang. Sampai muak.
***
Saat itu dia sedang duduk sendirian di ruang tamu sementara Nenek Euis lenyap dari pandangan. Winda tahu bahwa beliau sedang keluyuran mencari kucing Persianya yang belum pulang sejak tadi pagi. Sejak suaminya meninggal tiga tahun yang lalu, nenek Euis memang tinggal sendirian di tempat itu. Maka dari itu, dia membeli seekor kucing yang diberi nama Cathy untuk menemaninya.
Sebenarnya Winda juga sayang kepada neneknya meskipun beliau memang agak membosankan dan ketinggaan zaman. Tapi dia merasa di perlakukan tidak adil oleh Ibunya. Setiap kali liburan sekolah, dia tidak bisa ke mana-mana. Dia selalu dipaksa tinggal di tempat itu agar Nenenknya tidak kesepian. Sepanjang waktu dia harus terperangkap di sana bersama rasa iri yang mendalam ketika membayangkan teman-temannya yang berlibur dan bersenang-senang di tempat-tempat yang indah.
Winda akhirnya bangkit dari tempat duduknya dan mematikan TV. Sambil menguap, dia mengayunkan kakinya keluar rumah. Malam itu cukup terang meskipun sebagian besar lampu jalanan mati. Winda menduga itu pasti di sebabkan oleh cahaya bulan purnama dari langit yang bertabur bintang. Winda memutuskan untuk berkeliling komplek lagi sambil menikmati cahaya bulan.
Dia melangkah keluar rumah dan menghirup dalam-dalam udara malam yang sejuk. Tepat seperti dugaannya, perumahan itu masih tampak sepi seperti tadi sore. Namun Winda tidak mengacuhkannya. Kebetulan dia memang butuh ketenangan untuk meredakan amarahnya.
Tanpa terasa, Winda telah berada di ujung komplek perumahan. Di situ terlihat sebuah rumah berukuran sedang yang lampunya masih menyala, menandakan bahwa tempat itu berpenghuni. Tidak seperti rumah-rumah di sekelilingnya yang gelap dan sunyi, dari rumah itu terdengar suara-suara sehingga Winda tertarik untuk berhenti sejenak dan menguping.
"Ngapain dia di sini?" terdengar suara seorang wanita.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR