Winda melesat kembali ke rumah Neneknya scepat kilat. Tanpa mengacuhkan Nenek Euis yang sedang berdiri di depan pintu, Winda langsung berlari ke kamarnya dan langsung menelepon polisi.
"Halo, kantor polisi?" tanya Winda, masih terengah-engah karena habis berlari, "Nama saya Winda, saya baru saja melihat pembunuhan."
"Pembunuhan?" tanya polisi yang menjawab teleponnya.
"Iya, pokoknya cepetan datang ke sini!" kata Winda setengah membentak karena si polisi kedengarannya akan meminta cerita lengkap dan segala tetek bengeknya.
Winda memberi alamat lengkap rumah Nenek Euis karena dia tidak tahu alamat lengkap tetangganya itu sehingga bertekad mengantarkan para polisi langsung ke tempat kejadian begitu mereka ke rumah Neneknya.
***
Dia menunggu kedatangan mereka dengan gelisah. Sudah berulang kali Winda mondar-mandir di kamarnya dengan pikiran kacau.
"Gimana kalau polisi itu enggak datang?" gumamnya kepada diri sendiri, "Gimana kalau para pembunuh itu dendam sama gue terus setelah keluar dari penjara, mereka juga bunuh gue? Mama, Winda mau pulang!" Bunyi sirine polisi menyadarkan Winda dari lamunannya. Dia bergegas keluar rumah untuk menemui mereka. Tapi sialnya, Nenek Euis telah mendahuluinya. Begitu Winda sampai di ambang pintu, Neneknya sedang berdebat seru dengan tiga orang polisi.
"Di sini enggak ada pembunuhan!" Nenek Euis berkata tegas kepada para polisi.
"Ada, Nek," sela Winda sehingga Nenek Euis tercengang. Winda tidak menghiraukannya dan langsung berpaling ke arah polisi, "Rumahnya enggak jauh dari sini. Ayo saya antar."
***
Winda menceritakan bagaimana kronologis kejadiannya sepanjang perjalanan sampai mereka berlima akhirnya tiba di depan tempat tinggal pasangan Indra dan Maya. Salah satu polisi mengetuk pintu dan beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka, memperlihatkan wajah pasangan Indra dan Maya yang langsung pucat begitu melihat tamu-tamunya.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR