***
Pernah saat itu, aku tak tahu harus menyebut pengalaman apa ini. Seram atau lucu. Dulu, kira-kira lima tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku kelas dua SMA. Aku dan teman-temanku mengadakan tamasya ke pantai Losari, Makassar. Di sana, aku menginap di sebuah villa bergerbang tinggi. Villanya begitu besar dan megah. Murid-murid tidur di lantai dua, sedangkan guru-guru tidur di lantai satu.
Tiba-tiba ketika bulan menampakkan utuh wujudnya. Bulat. Putih. Tengah malam Senin itu jauh lebih menyeramkan dari malam-malam yang pernah aku lalui sebelumnya. Di sisiku tidak ada Mama, Papa atau pun Kak Alfa. Aku, hanya teman-teman sebayaku saja, yang tak bisa seutuhnya melindungiku. Aku tidur di atas ranjang kecil di sisi sebuah jendela yang langsung memaparkan keindahan pemandangan pantai Losari. Udara malam itu begitu dingin. Sedingin selimut tipis yang kini membalut tubuhku. Perlahan-lahan aku pejamkan mataku. Tak membutuhkan waktu yang lama, aku tertidur. Pulas. Begitu lelap.
Aku bermimpi, aku sedang ada di sebuah pemakaman. Semua orang menjerit-jerit dan menangis begitu oilu. Ada seseorang yang meninggal. Aku tak kenal siapa orang itu. Aku berdiri di belakang seorang bapak botak berkaca mata. Aku menyelinap, dan aku berhasil membuatnya berada di belakangku. Ternyata bapak botak itu berdiri paling depan, di depan nisan. Saat itu aku baru bisa membaca nama orang yang meninggal itu. Namanya...kurang jelas. Namun aku bisa lihat tahun kelahirannya, 1986. Aku masih bingung, mimpi apa aku ini. Sempat, aku menengok ke jasad yang telah dikafani dan telah dijatuhkan ke tanah itu, mayatnya seorang wanita. Cantik.
Tiba-tiba gelap, episode di mimpiku itu telah berakhir. Aku terbangun, tapi masih menutup mata. Aku tersentak. Hah. Aku bilang saat itu, "Hanya mimpi," dan aku menarik napas dalam-dalam dan kembali menghembuskannya. Perlahan-lahan aku buka kelopak mataku, aku ganti posisi tidurku yang tadinya menghadap ke depan, menjadi ke kiri, ke arah jendela. Dan, ketika aku membuka mataku,
"Aaaaaaarrrrrgggghhhhh!!!" jeritanku membangunkan seluruh penghuni kamar. Aku melihat seorang wanita tersenyum di balik jendela. Wanita itu melayang dengan mengenakan baju putih gombrang compang-camping, dengan rambut acak-acakan, hitam dan panjang. Wajahnya bersimbah darah. Ia tersenyum padaku, namun ia kembali melayang pergi, sambil tertawa cekikian. Tawanya begitu menyeramkan, membuatku jadi bergidik. Ia pergi sambil melambaikan tangannya padaku. Hah. Lucu.
Dua hari setelah kejadian itu, aku menonton TV di rumah ketika aku baru saja pulang dari tamasyaku. Aku memutar-mutar channel tak henti. Aku cari siaran yang menarik dan sampailah di berita criminal. Aku lihat di sana, ada berita telah dibunuhnya seorang gadis kelahiran tahun 1986. Disiarkan pemakaman gadis itu. Kameramen berada di belakang seorang bapak botak berkaca mata, kamera menyelinap ke depannya, dan mulai men-shoot nisan. Nama si korban pembunuhan tidak terlihat jelas, hanya tahun kelahirannya yang bisa tergambarkan, 1986. Kamera kembali menyoroti si jenazah. Jenazah seorang wanita. Cantik.
Ya. Itu kelebihanku. Aku nisa melihat masa depan, aku bisa melihat kematian seseorang. Si kuntilanak, yang menampakkan wujudnya di depan jendela kamar villa yang aku inapi, adalah roh gadis yang meninggal itu. Ia meminta bantuan padaku. Namun apa daya, aku tak bisa lakukan apa-apa.
***
Sebelah mata yang melayang, kaki yang berjalan di atas tangga, tangan buntung yang meraba-raba, kepala yang tergantung, bayangan di kaca, kuntilanak, pocong, genderewo, hah, capek. Semua itu adalah teman-temanku. Melihat kematian kakekku, si A, si B, si C. Semua itu adalah kebiasaanku. Setiap hari pasti aku melihat satu penampakkan, lumayan, aku lumayan terbiasa, walau aku masih tidak bisa menghilangkan rasa takutku. Wajar kan? Wajar kan aku takut? Ya, siapa sih orang yang tidak takut jika setiap harinya ia harus berkomunikasi dan hidup di dunia yang bukan dunianya, hidup di dunia gaib.
Tapi, kini aku brsyukur. Tuhan mendengar doaku. Setiap hari, ketika aku telah melihat sesuatu, aku selalu meminta kepada Tuhan.
Tuhan, apa ini jalan hidupku? Hidup di tengah-tengah kehidupan dua alam? Hidup di kehidupan nyata dan maya? Hidup di tengah-tengah kaki yang berjalan sendiri, hidung yang melayang, kepala tanpa wajah? Tolong Ya Tuhan, aku ingin semua ini berakhir dengan cepat. Aku ingin hidup normal. Aku ingin seperti orang biasa yang hidup tenang. Apa manfaatnya aku seperti ini? Tolong Ya Tuhan, tolong ambil mataku, agar aku tak melihat semua yang aku lihat saat ini. Tolong, aku ingin kau ambil mataku saja, Ya Tuhan!
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR