"Angket penjurusan," jawab Nana seraya duduk di depanku. "Kita kan sudah kelas tiga, tidak ada salahnya menentukan jurusan dari sekarang."
"Tapi ini baru awal semester!" protesku kesal. "Benar-benar masalah."
Nana tertawa kecil. "Kau tinggal tunjuk saja jurusan apa yang kau mau. Nilaimu bagus, tidak seeperti nilaiku yang selalu pas-pasan. Soal dana, pasti tidak jadi masalah untuk orang tuamu. Benar kan? Lalu dimana masalahnya, Li?"
Di mana masalahnya? Di orang tuaku! Jeritku frustasi dalam hati.
***
Benar saja, apa yang kutakutkan teerjadi. Begitu melihat angket penjurusan untuk perguruan tinggi, orang tuaku langsung menentukan jurusan apa yang harus kuambil tanpa bertanya sepatah katapun padaku.
"Boleh memilih jurusan desain, tapi itu jadi pilihan kedua. Pertama tetap kedokteran!" tegas Papa.
Lama-lama aku kesal juga menjadi 'boneka' orang tuaku. Aku sudah tujuh belas tahun, berhak menentukan hidupku!
Aku mengikuti Papa yang berjalan mnuju carport, tempat papa dan supir sudah bersiap. Langkahku terhenti di teras rumah, di samping carport. "Kalau begitu aku tidak akan lulus seleksi fakultas kedokteran.
Sesaat kukira 'senjata'-ku itu ampuh, karena Papa yang hendak naik ke mobilnya menuju tempat praktek langsung terdiam dan berbalik menghadapku. Tapi ternyata aku salah. Papa punya 'senjata' yang paling mutakhir.
"Tidak ada fakultas kedokteran, tidak ada uang saku!"
Glek!
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR