"Bu, mulai bulan ini Laras harus nyicil uang Ujian Nasional."
"Ya, nanti Ibu akan telepon ayahmu. Semoga dia dapat membantu. Oh ya, nak, beras kita habis. Sepulang sekolah mampirlah ke warung mbak Beti."
"Ngutang lagi?"
Ibu hanya menghela napas.
Aku berharap hidup tak selamanya begini. Bertahan di rumah papan kontrakan dengan pekerjaan Ibu sebagai buruh pengrajin manik-manik kerudung yang bergaji tak seberapa.
Apa boleh buat, aku harus mendapatkan hak asasiku sebagai anak sepenuhnya. Aku enggak tahan selama 15 tahun selalu hidup dalam kekurangan dan buaian kasih sayang seorang ayah fiktif. Konon, aku bukanlah anak yang diinginkan. Aku adalah 'kecelakaan kecil'. Meski begitu, aku bukanlah anak haram. Aku lahir dalam ikatan pernikahan kedua.
Yeah, Ibuku adalah istri muda dari lelaki tak brtanggung jawab karena harus tetap mendapingi istrinya yang sakit-sakitan. Aku dan Ibu harus bersabar menunggu giliran untuk mendapatkan kasih sayangnya. Anaknya dari pernikahan pertama ada dua. Cewek semua. Berprestasi.
Aku pernah bertanya pada Ibu, apakah suami yang menelantarkan anak-istri karena alasan istri tuanya sakit-sakitan akan mendapatkan surga, tapi Ibu malah membentakku. Katanya itu bukan urusan kita. Yang penting, laki-laki itu masih membiayai kehidupan kami dan biaya pendidikanku, meski tak pantas disebut layak. Akibatnya, Ibu harus mencari biaya tambahan untuk menghidupi kami. Ah, andai Ibu mau menuntut haknya lebih dari ini...
"Ibu sebaiknya istirahat. Enggak baik memaksakan diri kayak gitu. Nati Ibu sakit, lho. " Kutepuk punggung Ibu halus. Sudah dua minggu ini asmanya kambuh. Tapi Ibu tetap saja nekat merangkai manik dan mote-mote itu. Pekerjaan yang sejak awal tak pernah menarik buatku.
'Ibu enggak apa-apa. Bentar lagi juga klar. Ibu sengaja ambil banyak order supaya biaya Ujian Akhirmu segera terlunasi".
"Lho, Ibu bilang akan menelepon Imam untuk membayar uang..."
"Laras, panggil dia ayah. Enggak sopan kamu." Spontan ibu marah karena aku memanggil nama lelaki itu, Imam, toh, kenyataan dia enggak dia enggak becus menjadi Imam untuk Ibu dan Laras, kan?"kataku ketus.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR