Tepat kemarin Senin (6/11) 109 tahun yang lalu, Cut Nyak Dhien wafat di Sumedang, Jawa Barat pada usia 60 tahun.
Selama hidup, sosok wanita yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 2 Mei 1964 ini berjuang melawan pasukan Belanda yang berusaha merebut tanah Aceh dari genggaman rakyat Indonesia.
Beliau adalah sosok ibu, istri dan perempuan secara mandiri yang patut dijadikan panutan. Berikut 4 pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari Cut Nyak Dhien agar jadi sosok cewek hebat seperti beliau.
(Baca juga: Selamat Hari TNI! Yuk Intip 5 Tokoh TNI Paling Berjasa di Indonesia!)
Pantang menyerah dan bertekad kuat
Saat suami pertamanya, Ibrahim Lamnga tewas dalam pertempuran melawan Belanda pada 29 Juni 1878, Cut Nyak Dhien bersumpah bahwa suatu saat dia akan meneruskan perjuangannya untuk menghancurkan dan mengusir Belanda dari tanah Aceh.
Sumpah ini dia buktikan saat menerima lamaran dari Teuku Umar pada tahun 1880. Cut Nyak Dhien saat ini berjanji akan menikahi laki-laki pertama yang membantunya untuk menumpas pasukan Belanda.
Bersama, mereka membangun kembali kekuatan dan menghancurkan markas Belanda di sejumlah tempat.
Enggak larut dalam kesedihan
Pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur. Ketika anaknya dengan Teuku Umar, Cut Gambang menangisi kepergian sang ayah, Cut Nyak Dhien memeluknya dan bilang, “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah mati syahid!” (Lulofs, 2010).
Enggak larut dalam kesedihan, Cut Nyak Dhien kemudian bangkit memimpin garda paling depan perlawanan rakyat Aceh meski kondisi kesehatan dan pasukannya udah melemah.
(Baca juga: 9 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Enggak Banyak Orang Tahu)
Pendirian yang kuat
Sepeninggal Teuku Umar, Cut Nyak Dhien terus menggelorakan semangat rakyat Aceh untuk berjuang. Dia menjadi pemimpin dan dikelilingi oleh orang-orang tangguh yang setia padanya.
Tapi perjuangan melawan pasukan Belanda yang lebih unggul dari segi kekuatan semakin berat. Pasukan Cut Nyak Dhien semakin habis.
Kondisi kesehatannya yang memburuk, membuat salah satu pengikutnya, Pang La’ot menawarkan Cut Nyak Dhien bekerja sama dengan Belanda agar bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik.
Cut Nyak Dhien menolak mentah-mentah tawaran itu dan lebih memilih untuk mati. Paang La’ot yang tetap merasa enggak tega melihat kondisi Cut Nyak Dhien akhirnya diam-diam membuat perjanjian dengan Belanda dengan memberi tahu lokasi persembunyian pasukan Aceh.
Sebagai imbalan, Belanda harus memperlakukan Cut Nyak Dhien dengan hormat dan memberikan perawatan yang baik.
Menebar kebaikan selagi bisa
Cut Nyak Dhien akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh sesuai dengan kesepakatan. Beliau dirawat hingga kondisinya mulai membaik.
Tapi, Belanda masih khawatir suatu saat Cut Nyak Dhien akan memulai kembali perlawanan. Akhirnya beliau diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat pada tahun 1905.
Memasuki usia senja, kondisi kesehatan Cut Nyak Dhien kembali menurun. Dia pun mengalami gangguan penglihatan. Meski begitu di tempat pengasingan, Cut Nyak Dhien masih menyempatkan diri menebar kebaikan dengan mengajarkan agama hingga membuatnya disebut “Ibu Perbu.”
Beliau pun akhirnya menutup usia pada tanggal 6 November 1908.
Penulis | : | Putri Saraswati |
Editor | : | Putri Saraswati |
KOMENTAR