Perdagangan manusia di Indonesia, terutama anak dan perempuan, masih belum menemukan titik terang. Sejak tahun 2012, Indonesia masih ada di peringkat kedua kejahatan perdagangan manusia yang melibatkan kekerasan maupun eksploitasi seksual terhadap anak. Sama sekali bukan prestasi yang membanggakan, ya.
(Baca juga: 7 Fakta Menyedihkan Tentang Kekerasan Terhadap Wanita di Indonesia Sepanjang Januari-Maret 2018)
Dilansir dari Instagram resmi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, tindak pidana perdagangan orang meliputi: rekrutmen, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang, yang dilakukan dengan ancaman, penggunaan kekuasaan, bentuk-bentuk pemaksaan seperti penculikan atau penipuan, penyalahgunaan posisi rawan, menggunakan pemberian atau penerimaan pembayaran (keuntungan) sehingga diperoleh persetujuan secara sadar (consent) dari orang yang memegang kontrol atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.
Eksploitasi tersebut meliputi pelacuran, kerja paksa, perbudakan, dan pengambilan organ tubuh. Seiring berjalannya waktu, para pelaku melakukan berbagai cara untuk dapat mengambil keuntungan dari anak dan perempuan, seperti adopsi palsu, tipu daya berbasis balas budi, sampai menawarkan langsung para korban untuk direkrut.
Mengutip dari Kompas.com, pelaku tindak pidana perdagangan anak menjual anak-anak penjual tissue di Jakarta ke warga negara asing yang tinggal di Indonesia dan dijadikan pekerja seks komersial dengan tarif Rp. 1,5 hingga 2 juta.
(Baca juga: Fakta Menyedihkan Tentang Kasus Kekerasan Seksual Pada Remaja Cewek Indonesia)
Apa yang menjadi penyebab terjadinya perdagangan anak?
Kemiskinan dan Kurangnya Kesadaran
Kurangnya kesadaran dan konsep berpikir yang salah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perdagangan anak. Faktor kemiskinan juga berperan karena banyak keluarga yang terpaksa mempekerjakan anak-anaknya demi menopang keluarga yang terjerat utang.
Keinginan Cepat Kaya
Di era digital seperti sekarang, kita semakin terpapar dengan konten-konten yang memicu gaya hidup konsumtif. Enggak jarang anak-anak di bawah umur yang rela melakukan berbagai cara demi memiliki barang-barang yang dimiliki tokoh idolanya yang dia lihat di media sosial. Keinginan cepat kaya membuat mereka bahkan rela untuk terlibat dalam prostitusi maupun perdagangan organ tubuh.
Pernikahan Dini
Di berbagai daerah di Indonesia, pernikahan dini masih marak, bahkan dijadikan bagian dari adat yang “dilestarikan”. Padahal hak anak-anak adalah mendapatkan pendidikan yang layak, mengembangkan potensi diri, dan mengejar mimpi-mimpinya. Enggak jarang juga, pernikahan dini ini digunakan sebagai salah satu cara mengeksploitasi anak secara seksual.
(Baca juga: Usia Remaja Saatnya untuk Belajar Mengembangkan Potensi Diri, Bukan Untuk Menikah)
Penegakan Hukum yang Lemah
Lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan disebabkan oleh banyaknya pihak yang harus terlibat di lokasi korban ditemukan. Proses Berita Acara Pemeriksaan memerlukan waktu yang cukup panjang dan umumnya korban perdagangan manusia berpendidikan rendah, meski tidak tertutup kemungkinan terhadap orang-orang berpendidikan tinggi, sehingga pemeriksaan harus dilakukan berulang-ulang.
Penanganan Lebih Berorientasi pada Pelaku
Dilansir dari Kompas.com, selama ini penanganan perkara pidana terlalu berorientasi pada tersangka atau terdakwa, sementara hak-hak korban sering diabaikan. Padahal korban kemungkinan besar mengalamai trauma mental maupun fisik.
Apa yang bisa kita lakukan?
Kita bisa turut berperan dalam melaporkan pelaku tindak kejahatan perdagangan manusia. Kalau kita menemukan situs dan konten mencurigakan, atau bahkan berinteraksi langsung dengan pelaku, jangan ragu untuk mengadukannya ke Bagian Pengaduan Masyarakat Kementerian PP dan PA dengan nomor 0821-2575-1234.
Penulis | : | Andien Rahajeng |
Editor | : | Andien Rahajeng |
KOMENTAR