Pendidikan merupakan hak dasar yang kita miliki. Siapa pun, di mana pun kita berada, berhak untuk mendapatkan pendidikan. Di Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei ini, ternyata masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki demi meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sebenarnya seperti apa, sih, keadaan pendidikan di Indonesia saat ini? Yuk simak kulasannya!
(Baca juga: Menjejaki Perjalanan Panjang Siswa Sumba Barat Daya ke Sekolah)
Putus sekolah menghambat Indonesia bersaing di kancah global
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2016, lebih dari satu juta anak putus sekolah pada jenjang sekolah dasar (SD) dan enggak melanjutkan ke tingkat sekolah menengah pertama (SMP).
Hal ini sejalan dengan data sebelumnya di tahun 2010 yang menyebut bahwa lebh dari 1,8 juta anak Indonesia terpaksa berhenti sekolah setiap tahunnya. Penyebab utamanya enggak lain adalah karena mahalnya biaya pendidikan.
Anak-anak dari keluarga kurang mampu memiliki kemungkinan putus ekolah 4 kali lebih besar dibanding yang berasal dari keluarga berkecukupan dananak-anak putus sekolah di desa 3 kali lebih tinggi dibanding di perkotaan.
Jika digabung antara yang tidak tamat SD-SMP, maka ada sekitar 4,3 juta anak yang enggak mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun.
Akibatnya, ada sekitar 40% angkatan kerja di Indonesia yang hanya lulusan SD. Keadaan ini pastinya menghambat upaya Indonesia buat bersaing di kancah global.
Pendidikan yang belum merata
Selain putus sekolah, pendidikan Indonesia juga dihadapkan dengan masalah pemerataan yang masih kurang. Terlebih lagi kualitas pendidikan di daerah-daerah terluar dan tertinggal Indonesia.
Dilansir dari dpr.go.id, tinjauan Komisi X ke SMA dan SMK di Manokwari, papua Barat menemukan sekolah di daerah tersebut masih belum dilengkapi fasilitas praktek yang layak seperti laboratorium jurusan IPA.
Menurut neraca pendidikan daerah yang disusun oleh Kemendikbud diperoleh informasi bahwa anggaran urusan pendidikan di Papua Barat dalam APBD di luar transfer daerah, jauh di bawah 20%, hanya sekitar 2-3%. Sementara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih di bawah rata-rata nasional (69,55), yakni sekitar 61-63.
Masalah lainnya juga termasuk uji kompetensi guru dan Indeks Integritas Ujian Nasional yang masih di bawah rata-rata nasional. Hal ini enggak hanya berlaku buat Papua Barat saja, tapi daerah tertinggal di Indonesia lainnya.
Upaya perubahan kualitas pendidikan
Sebenarnya, sudah banyak inovasi dan program pendidian dari pemerintah yang dijalankan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Untuk mengatasi masalah putus sekolah, belakangan pemerintah mengeluarkan program distribusi Kartu Indonesia Pintar (KIP). Hasilnya, capaian partisispasi pendidikan usia 6-22 tahun naik 7% sejak 2006 dan kesenjangan gender berkurang signifikan (Bapennas, 2016).
Selain itu ada juga program Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang bertujuan untuk membantu siswa miskin agar mendapatkan pendidikan yang layak, mencegah terjadinya putus sekolah, menarik siswa miskin supaya mau kembali ke sekolah, dan membantu siswa memenuhi kebutuhan mereka dalam belajar.
Sementara untuk mengatasi pendidikan yang belum merata, pemerintah menciptakan program menjadi guru di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T). Di tahun 2017 lalu, Kemendikbud mengirimkan sekitar 6000 guru garis depan (GGD). Sementara di tahun 2018 ini, Kemendikbud berencana merekrut 18 ribu GGD.
Fokus dari program ini adalah untuk mempercepat penguatan pendidikan di daerah 3T melalui beberapa aspek, mulai dari ketersediaan guru, infrastruktur dan sarana prasarana pendidikan lainnya.
Meski ada bukti nyata perubahan, pencapaian ini masih belum cukup jika dibandingkan dengan masalah-masalah lainnya yang belum mampu diselesaikan.
Pada akhirnya, meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tapi juga kita. Perubahan yang perlu dilakukan adalah kesadaran bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab kita semua.
Karena tanpa kita peduli, akan ada banyak inovasi dan program pendidikan yang gagal sebelum dimulai karena tidak ada respon yang berarti dari kita.
(Baca juga: 84% Murid di Indonesia Pernah Mengalami Kekerasan di Sekolah. Kenapa Angkanya Begitu Tinggi)
Penulis | : | Indra Pramesti |
Editor | : | Indra Pramesti |
KOMENTAR